Header Ads

Istana Pasirku mirip Istana Negeri Rindunesia

Istana pasir kubuat di pantai. Kubayangkan ia adalah istana negara. Kubuat seistimewa mungkin, kutakar dan kupertimbangkan matang, kupilih ember aneka warna dan ukuran agar konstruksi istana pasirku memukau. Aku masih membayangkan istana pasir itu istana negara.

            Akan kuundang pak presiden datang ke istanaku. Meninggalkan istana negara yang sejuk dan melihat istanaku yang hangat. Kusuguhkan air laut asin sebagai minuman, agar pak presiden tak terlalu sering meminum air minuman galon milik perusahaan asing. Kami akan duduk di tikar anyaman memandang alam. Menggeser pemikiran pak presiden yang sudah ruwet oleh masalah negara. Kutawarkan dunia baru, istana pasir yang mirip dengan istana negara.

            Tak cukup kuundang pak Presiden. Kuingin berbagi keceriaan dengan para jaksa, hakim, tukang pos, pegawai bea cukai, para dosen, pemuka agama, untuk masuk ke istana pasirku. Kukecilkan ukuran tubuh mereka dengan mantraku yang kuberi nama ‘Kemunafikan Kumulatif’. Mereka kusuruh masuk ke dalam istana pasirku yang megah. Aku di urutan terakhir memasukinya. Jebakan maut. Aku menipu mereka.

            Kukurung mereka di istana pasirku. Kujadikan tahanan pantai. Tak ada jalan ke luar. Hanya aku dan sang presiden yang berada di luar. Aku tampakkan kepada sang presiden para tamu-tamu agungku. Kutunjukkan wajah-wajah memerah mereka, teriakan penuh ampun mereka, karena Keputusan Presiden yang telah dibuat tak pernah dijalankan oleh mereka.

            Aku ajak sang presiden menyusuri pantai menikmati matahari yang tengah bersolek di peraduan. Kubiarkan istana pasirku dihancurkan oleh buih ombak yang menjalar ke daratan. Mematikan para pembantu Presiden. Hingga hanya aku dan sang Presiden yang berhak menikmati sore nan indah ini.

Tidak ada komentar