Menggagas Ucapan Massal Pengakuan akan Kebangkrutan Nasional
Kini zaman kemerdekaan. Sekarang kita berada di era teknologi. Patut berbangga karena kita telah lepas dari penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Kita merayakan proklamasi setiap tanggal 17 agustus. Sebuah keharusan dan dipimpin oleh presiden yang terhormat. Ini tahun-tahun tercerah dalam perjalanan bangsa Rindunesia.
Pernah ada sedikit kerikil kecil di sepatu bangsaku. Itu bisa diatasi, batu kecil itu berhasil dibuang. Gerakan pemberontakan, pembangkangan pernah terjadi. Tapi tentara berhasil mengandaskannya. Negeri aman dalam balutan popor penyelamat. Semua diam dalam keanggunan. Duka kecil negeri menambah tegar bangsa ini.
Mahasiswa pernah marah. Itu dulu, tahun 1998. Menuntut presiden mundur. Tapi berlangsung beberapa hari saja. Pemimpin manis itu dengan senang hati menanggapi teriakan mahasiswa. Negeri sedang berubah, tapi itu hanya menghasilkan korban sedikit saja. Itu dulu dan kita sudah melupakan semua kenangan buruk itu.
Sekarang harga barang pokok naik. Minyak mahal. Kerusuhan berbau agama merebak. Anak kecil sakaw dan tak ingat lagi siapa orang tuanya. Remaja putri kalap saling mengoyak antar temannya. Politikus bertingkah bak monyet kelaparan. Jaksa bermain dadu. Presiden asyik mengamati. Wakil Presiden sibuk dagang. Pemuka agama bingung mencari akal untuk mengingatkan umatnya. Guru-guru tak berhasil menahan kebiadaban anak-anak didik. Mahasiswa hilang kendali. Pekerja putus asa. Rindunesia meradang. Aneka permasalahan meledak. Beratus-ratus tahun dipendam dalam hati dan kini MELETUS!
Bangsaku, oh bangsaku. Kini kau seolah telah menjadi manusia tak berjiwa. Bingung dan kehabisan akal untuk mengurusi diri sendiri.
Timbul satu pemikiran dari anak kecil tanpa baju: Mengucapkan secara massal dan mengakui kita adalah bangsa bangkrut. Bangkrut ekonomi, politik, budaya, dan moral. Memohon maaf kepada dunia bahwa kita telah gagal. Meminta kerelaan perusahaan asing untuk keluar dari negeri ini, dan kami akan mengurus sendiri. Kita telah bangkrut. Kita menutup diri selama batas tak tentu untuk bergulat mencari jalan keluar.
“Kami bangsa Rindunesia, memohon maaf kepada masyarakat dunia bahwa kami telah bangkrut. Kami meminta seluruh aset asing untuk meninggalkan negeri ini. Kami telah bangkrut. Semoga masyarakat dunia sudi memaafkan kami.”
Apa yang harus kukatakan selain: kami bangga sebagai bangsa nan bangkrut ini. Kami adalah bangsa ini.
BalasHapusSudah, tunggu dulu peserta audisi lain. Masak cuma kita berdua? Kan ndak lucu?
BalasHapusBah. Kau baru komen sekarang. Rasanya blogmu ini cuma kita berdua yang meramaikan, tak ubahnya pasangan badut yang melantunkan dagelan usang.
BalasHapusLo blog bagus itu tidak selamanya mengharu biru .... hehehehe
BalasHapusga dilirik gapapa, daripada daripada ....
Tinggal tunggu waktu kok. Siapa yang konsisten dengan gaya tulisannya, dialah yang akan menjadi duta bangsa Rindunesia peraih nobel sastra. Catat yaaa ....
Semoga ada jalan ke sana. amin
Penulis Kondang Bermulut Besar Peraih Nobel Sastra. Maknyus deh.
BalasHapusSayang masuk penjara karena terlalu kritis
BalasHapustapi memang harus begitu kayaknya ya
harus ada menulis yang ga cinta-cintaan
Loh, kau bilang kau oportunis. Kudu ikut mainstream dong.
BalasHapusMati akuuwww ....
BalasHapussekali tayang harus bagus dong sinetronnya!
tapi demi uang, kejar tayang juga Oke kokkk
sekali-kali ... ga selamanya
Kau pasti mampu bertahan.
BalasHapusNa na na na, aku bukan nana!
Doakan saja! Semoga berhasil ....
BalasHapus