Header Ads

Jangan Pernah Mau Jadi Penulis Komersial, Masuk Neraka!

Aku cenderung memilih untuk tidak mengirimkan naskahku ke lomba menulis. Masih bingung karena sayang bakatku nanti dijual, tapi hadiah jutaan rupiah menyilaukan otakku. Aku sadar aku bukanlah penulis yang baik. Aku bukan seorang penulis setenar para pembuat tetralogi yang laris bak cendawan di musim basah. Aku hanyalah insan yang menulis keluh kesan secara independen. Bukan, mereka bukan aku. Dan mereka berhak untuk dihargai.  

            Apakah sopan aku menantang orang-orang yang disebut-sebut sudah menjadi penulis? Bolehkah aku menumbangkan karya-karya yang banyak orang menilai sebagai karya layak terbit. Aku tidak sopan, aku tidak boleh.

            Pengalamanku nol. Nol besar. Pengalaman mereka selangit. Tak berbatas.

            Mereka mantap memancangkan diri sebagai penulis profesional. Aku penulis iseng tak berbekal ijazah kesusasteraan. Aku tidak pantas sejajar dengan mereka. Apa yang harus aku lampirkan bersama karya burukku? Ijazah sastra aku tak punya, lembar tanda kelulusan sekolah mekanik aku punya.

            Apa yang aku perbuat jika karyaku merubuhkan tulisan mereka? Tak boleh aku bermimpi seperti itu. Status hidup harus tetap dijaga. Mereka sastrawan, aku bukan. Terus bagaimana jika segala bentuk pemikiran independenku lenyap berganti dengan komersialitas? Aku takut hatiku berubah menjadi mesin pengisap uang. Banyak tawaran menulis ini dan itu. Sesuai permintaan perusahaan. Topik A dan B. Seharga sekian rupiah, dalam jangka waktu beberapa hari. Hanya uang dan uang. Tak ada waktu untuk mengeluarkan hati, mencoba menawarkan pemikiranku kepada temanku dan sahabatku.

            Aku terlalu letih mengikuti lomba. Matematika, kimia, fisika, dan ilmu alam lain. Jangan pernah paksa diriku untuk mengikuti lomba ilmu hati. Hati ini tak mau dibeli dan tak ingin pula dijual. Biarkanlah hati ini bebas seperti ikan salmon yang berjuang menuju hulu sungai. Aku tak sanggup bila keletihanku menyelami ilmu alam dan kegiranganku menekuni ilmu hati diporakporandakan. Diobrak-abrik oleh sebuah komersialitas.

            Tak peduli aku akan makan apa, tak soal bagaimana aku menambah pundi-pundiku. Aku hanya punya hati. Jangan rebut hati ini untuk nantinya dijual.

            Aku mengikuti Ujaran Tuhan. Entah jika hatiku berubah karena kilauan uang itu.

            Atau ada cara lain?

12 komentar:

  1. walah..
    kan kalo berguna ma banyak orang gpp kali mas.. ^___^

    BalasHapus
  2. walah juga ...
    ini kan cuma cerita orang bingung saja.
    hehehe
    lagian, berguna gitu?

    BalasHapus
  3. Kuharap kau istiqomah, wahai Pujangga, Sastrawan, atau apapun kau mengidentifikasikan dirimu...... Karena ku yakin para penulis itu pun dahulunya memiliki pemikiran seperti engkau juga. Namun dengarkan kataku: Kau tak bisa membeli beras dengan daun, dan batu terlalu keras untuk dikunyah.

    BalasHapus
  4. ahhh aku hampir menangis membaca tulisanmu. Kau memang baik dan tak terkalahkan!
    hahahaha

    BalasHapus
  5. ciee.. ada jg nyang bilang dirimu sastrawan..
    kela, mun dirimu sastrawan, diriku ajip rosidi dong..

    BalasHapus
  6. kata2nya bagus mas..
    tapi kan beneran ada orang yg makan batu.. hehe

    BalasHapus
  7. pantesan ajib rosidi
    la basanya sunda terus
    roaming tahuuuu hihihihi

    BalasHapus
  8. Hah? Sapa tu yg makan batu???? Sang Sastrawan Kita yang bermulut lebar dan bergigi besi ini yah??? Bused.

    BalasHapus
  9. iyah! kekekekek
    mangkanya kudu dipelihara.. kan mayan tuh, ngurangin jatah beras! hihi

    BalasHapus
  10. ehem ehem..
    AJIP mas, bukan ajib..
    dimarahin ma orang sebangsa sedunia baru tau loh :p
    ada juga ajeb ajeb.. :p

    BalasHapus
  11. Oh, seandainya saja Sang Sastrawan bisa dikloning secara massal dan diperdagangkan, akan banyaklah pasangan muda yang tak hendak lagi mencetak anak. Mendingan beli kloningan Sang Sastrawan: tangguh, bermental baja, tahan banting, ksatria, kritis dan doyan menganalisa, plus sanggup makan batu. Alangkah bergunanya memeliharanya di jaman sekarang ini.

    BalasHapus