Header Ads

Dilema Presiden Rindunesia: Bimbang Memutuskan Mundur?

Saya ingin mundur dari panggung politik. Namun sensasi yang kunikmati saat menjadi Presiden Rindunesia membuatku menahan keinginan itu. Ambisi dan obsesi itu terus menggelora hingga aku enggan untuk melepaskan jabatan nomor satu negeri walaupun mahasiswa berteriak lantang. Mereka hanyalah anak-anak ingusan yang hanya bisa menguap. Tak bermodal pikiran, dan hanya mengedepankan emosi sesaat. Tahu apa mereka dengan keadaan bangsa ini. Aku yakin mereka adalah mahasiswa yang panik saat kedua orang tua mereka menagih kelulusan kepadanya.

            Masa jabatanku segera berakhir, setahun lagi. Tak tega rasanya aku meninggalkan rakyatku dengan segepok tugas dan janji-janjiku yang belum kurealisasikan. Aku merasa masih ingin mewujudkan impian-impian saat aku berkampanye. Sebelumnya aku sudah yakin bahwa lima tahun adalah waktu yang tak adil bagi pemimpin bangsa sebesar Rindunesia. Pemimpin manapun tak akan bisa menyelesaikan masalah rumit bangsa ini hanya dalam satu periode kekuasaan. Aku yakin itu.

            Aku sering mendapat masukan dari tangan kananku, bahwa aku sangat sukses memimpin bangsa ini. Sering kali mereka menaikkan moralku yang putus asa karena aksi-aksi demonstrasi.

            “Jangan anggap semua ucapan mereka, Pak. Kerja kita di atas kertas sangat baik. Prestasi kita melebihi dua presiden sebelum kita. Keutuhan NKRR, stabilitas keamanan, dan lain-lain. Bapak harus mau maju kembali ke pemilihan presiden tahun depan.”

            Keterangan itu sungguh membuatku kepercayaan diriku naik yang sebelumnya berada di titik nadir. Aku lebih percaya kepada orang-orang istana, pembantu-pembantu setiaku, yang aku rasa lebih berpendidikan dibandingkan dengan para mahasiswa.

            Akhirnya, keinginanku untuk mundur dari jabatan presiden dan pencalonan kembali, aku tangguhkan. Gengsi dan keyakinan dipertaruhkan.

           

Tidak ada komentar