Header Ads

Di Ambang Perang Saudara

Kita seperti sebuah bangsa yang haus oleh kata “perang”. Setiap hari sibuk dengan berita di berbagai daerah terjadi kekerasan. Corong radio juga sibuk menyiarkan dialog bagaimana cara mengurangi kemelut pemilihan pimpinan daerah. Anak-anak SD juga diberitakan oleh televisi tengah berjuang ke luar dari jebakan narkoba berbentuk permen. Belum lagi sekumpulan remaja putri yang mulai garang karena gatal kemaluannya digerogoti kelompok lain. Itu hanya sedikit dari kejadian di negeri ini. Semua ini seakan menjadi sarapan sehari-hari hingga otak bangsa pun menerimanya sebagai hal yang biasa.

            Apa yang terjadi dengan bangsa ini? Terlalu sibuk berperang dengan sahabat, saudara, atau teman sendiri. Ini tak ubahnya kita menjadi sebuah bangsa yang hanya jago di negeri sendiri. Merasa diri kita pandai untuk menghancurkan musuh yang sebetulnya bangsa kita sendiri. Kita hancur dari dalam. Bukan karena bujukan penjajah dari negeri lain, tapi berantakan karena sikap dan perilaku kita.

            Pemerintah yang seharusnya bersikap sebagai penengah, sebaliknya malah menjadi seorang guru. Guru yang mendidik warganya semakin beringas. Mereka terlalu sibuk berkonsolidasi, memantapkan diri agar tahun depan terpilih kembali memimpin bangsa.Alasan yang mereka kemukakan selalu sama dari tahun ke tahun, “Kita harus bersabar karena dengan kesabaran maka bangsa kita akan menjadi pemimpin dunia.”

            Wahai pejabat, lihatlah hati kami. Kami telah menjadi mayat yang sebelum mati telah keropos akibat hukum-hukum yang kalian buat. Beginilah jadinya kami, seperti orang idiot yang bingung karena merasa tak mempunyai pemimpin yang mengerti kami.

            Begitu pula para pemuka agama. Mengapa kalian diam saja? Kami membutuhkan bantuan yang mampu meringankan kemelut di hati kami. Jangan terlalu arogan dengan ucapan-ucapan kalian yang terbungkus dalam asap rokok kretek yang terus kau embuskan. Kami ingin kalian menyambangi hati kami. Mengunjungi saudara-saudara kami di area pengungsian, di bawah jembatan layang, di depan emperan toko Cina. Janganlah terus menjadi teman pemerintah yang hanya bisa menyetujui setiap tindakan mereka. Kami tahu, sejak awal pemerintah dari golongan manapun tak akan memihak orang kecil. Dan kami melihat kalian berada di balik mereka. Keluarlah dan ucapkan sedikit kata yang membantu kami melawan tirani ini. Wahai pemuka agama, apakah kalian mendengar jeritan kami?

            Sampai kapan perang antar anggota bangsa ini akan berakhir? Kapan pula hak-hak orang kecil diperlakukan sebagaimana mestinya? Atau selamanya akan seperti ini. Dan dunia menjadi tempat teramat sadis bagi orang-orang miskin.

            Pantaskah kita menjadikan pemerintah sebagai musuh? Pemuka agama sebagai musuh? Kita tak ingin ini terjadi dan menjadi cerita buruk bagi anak cucu bangsa. Selayaknya kita bersatu dan berseru bahwa kita membutuhkan musuh abadi. Dan kami tak dapat menjawabnya selama pemerintah dan pemuka agama diam. Kami hanya sebagai warga yang tak mempunyai hak. Hanya kewajiban yang boleh kami lakukan. Selebihnya hanya mimpi dan angan-angan.

Tidak ada komentar