Header Ads

Buruh Migran Terjebak Bisnis Pelacuran

Aku tinggalkan masa lalu. Kenangan yang telah lama membalut hatiku. Memang berat, tapi harus kulakukan. Bayangan kenikmatan yang terus membututi kucoba tekan dengan kegiatan lain. Bukan sebagai pelacur. Sudah kuputuskan bahwa hari ini hidupku kubuka dengan cerita indah. Tak sekali-kali aku melakukannya lagi.

            Terbujuk rayuan tetangga dekatku yang menjajikan angan-angan indah, aku berangkat ke ibukota. Kuala Berdarah, aku menjadi tenaga kerja di sebuah perusahaan garmen. Selama tiga bulan aku belajar menjahit secara dadakan. Kocek orangtuaku kukuras habis untuk membiayai kursus menjahit dan membayar biaya pengurusan ke luar negeri. Majalayasia begitu indah di mulut tetanggaku itu. Nyaris semua tabungan orangtuaku habis; sawah, ternak, dan perhiasan peninggalan ayah. Tapi itu tak masalah karena janji tetanggaku bahwa tiga bulan kerja di sana dijamin biaya yang telah dikeluarkan akan kembali. Aku percaya, di saat lapangan kerja negeriku makin menipis, impian kerja di Majalayasia menjadi pilihan yang realistis.

            Tanah impian sudah kuinjak sekarang. Buruk mukaku sekarang, penuh hajaran orang-orang yang telah menjadi Tuanku. Aku melarikan diri, namun sebelumnya kudisiksa oleh mereka. Tak perlu kujelaskan lebih rinci, karena akan membuat kalian tidak akan pernah memedulikanku lagi. Jika kalian melihat seperti apa aku sekarang, pasti rasa kemanusiaan itu akan melesat meninggalkan nyawa kalian. Dan kalian akan menyerahkan tugas itu pada rumah sakit. Ya, rumah sakit. Selebihnya kalian kembali tidur nyenyak dengan mimpi-mimpi berbalut keindahan maya.

            Bukan menjadi tenaga kerja seperti yang dijanjikan tetanggaku, aku dipaksa untuk menjadi tenaga pemuas berahi para lelaki hidung busuk di sana. Aku tak mampu menolak karena aku telah disekap selama beberapa bulan sejak kepergianku dari rumah Emak. Sungguh kumerasa berdosa jika mengingat Emak yang selalu memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan. Aku yakin dia tak henti-hentinya memohon keselamatan bagiku, agar aku selalu sehat saat bekerja di negeri orang. Tapi, kenyataannya setiap malam aku tenggelam dalam lubang kehinaan.

            Sudah berapa puluh lelaki yang kulayani dan aku diwajibkan untuk tidak mengeluh. Jika mengucapkan sedikit kata “capai”, dijamin mereka akan menyiksaku. Mereka, anggota penyalur tenaga kerja. Tak hanya aku yang dijual oleh mereka, ada ratusan bahkan kuyakin ribuan wanita. Dan ini menjadi rahasia yang ditutup rapat dengan bantuan aparat keamanan. Gadis Rindunesia menawarkan sejuta pesona tiada tara, begitu mereka menyebut kami. Tak ada duanya dan manis dalam rasa.

            Kabar Emak sudah tak pernah kudengar lagi. Emak tak bisa menulis dan membaca. Beberapa bulan saat aku masih di barak penampungan, aku masih sempat mengirim surat ke Emak. Adik lelakiku yang membacakan buat Emak, dan menuliskannya kepadaku. Namun sekarang hubungan kami telah putus, aku terlalu sibuk dalam bisnis prostitusi ini. Secara tak sadar, aku menikmati profesi ini. Kuanggap kenikmatan yang membawa sejuta dollar dalam kantungku.

            Tapi aku kemudian tersadar. Ini akibat pertemuanku dengan seorang lelaki Pakistan. Dia pernah memakaiku. Tak seperti laki-laki lain, dia sungguh berbeda. Jarang sekali aku menemukan pelanggan yang mempunyai sifat seperti dia. Dia tak meminta seks, tapi dia hanya ingin aku mendengarkan cerita dan keluh kesah dia. Masalah keluarga. Hati siapa yang tak terpukul, pelacur mana yang hatinya tak runtuh saat melihat lelaki di hadapannya bercerita masalah keluarganya. Ini tidak hanya sekali, dua kali, tapi berulang kali. Rasanya aku seperti psikiater yang bersedia menjadi pendengar setianya. Ah, tak masalah. Seks tak ada asal dompetku terus diisi, batinku menenangkan diri.

            Lelaki Pakistan itu sedang tergoncang. Sahabat satu kantornya berselingkuh dengan istrinya. Dia sangat terpukul. Wanita yang sangat disayanginya, bermain jahat di belakangnya. Dua anak bukan jaminan keluarga akan bahagia. Justru masa rawan itu sedang berusaha dilaluinya. Aku selalu melihat urat-urat wajahnya mengencang ketika masuk ke kamarku. Tapi setelah aku mendengarkan berbagai kisahnya, dia terlihat puas dan bisa menerima kenyataan ini.

            “I just wanna have a friend to share with. That’s you, Madam.” Dia selalu mengakhiri ceritanya dengan ucapan itu. Aku tahu arti “friend”, dan kusimpulkan bahwa dia ingin berteman denganku.

            Dalam hati, aku tersipu malu. Wanita desa, berkeinginan menjadi tenaga kerja, terjebak menjadi pelacur, masih saja dianggap sebagai manusia. Aku merasa ada orang yang menghargaiku. Dan lelaki Pakistan itu yang menyatakannya. Dia telah menjadi temanku di negeri asing ini. Tempat sebagian teman-temanku disiksa oleh para majikannya, diperlakukan secara tak senonoh. Aku menemakan teman di negeri ini. Bersyukur kepada Tuhan, aku teringat Emak.

            (bersambung)

 

 

Tidak ada komentar