Header Ads

Bubur Lumpur Lapindo: Alternatif BBM, Irit Banget!

Akulah penjual bubur aneka rasa. Warungku di persimpangan jalan Pesona Iman. Setiap detik mobil lalu lalang memusingkan kepala. Kebanyakan kendaraan elit dengan plat hitam. Mobil resmi negara berplat merah kadang juga berseliwean walaupun jam belum menunjukkan waktu istirahat. Sementara bus, opelet, dan ojek sudah jarang ditemui. Penghuni jalan kelas rendah ini mogok kerja karena harga bensin dan solar naik tajam. Warung bubur yang kubuka minggu lalu dan laris, sekejap menjadi sepi pengunjung. Bang sopir, tukang ojek, dan pengemudi taksi sudah tak berkunjung lagi. Aku sedih memikirkan usahaku yang prematur. Mati sebelum berkembang.

            Memutar otak setengah mati, aku mencari cara bagaimana membuat warungku kembali bergairah. Membesarkan dan memodifikasi ala kafe gaul jelas tak mungkin. Modal mana lagi harus kucari, sedangkan utang pendirian warung ini saja belum lunas. Aku tak mau semakin terperosok ke dalam jurang yang telah di buat oleh bank. Dulu mengajukan permohonan utang susahnya minta ampun. Baru berjalan beberapa minggu, hasil jualan hanya bisa menutup bunga utang. Induknya menjadi berlipat-lipat.

            Aku dulu salah memutuskan untuk meminjam uang di bank yang sebelumnya sudah kucurigai akan bermain kotor. Ucapan miring tetangga-tetangga sekarang baru kusadari kebenarannya. Waktu itu aku menutup telinga dan membuang omongan bernada buruk terhadap bank. Tak mungkin instansi pemerintah akan menjerembabkan warganya. Aku membatin seperti itu. Namun kenyataan kini bercerita kepadaku, tak selamanya gosip itu salah. Ada benarnya menganggap kabar burung sebagai masukan sebelum memutuskan sesuatu.

            Pilihan pertama untuk mempercantik beranda warung atau ruang dalam aku batalkan. Warungku sudah cukup ideal menampung sekitar lima puluh pengunjung. Apa yang harus kuperbuat untuk menarik minat pembeli? Saat ini pengunjung setiaku adalah kalangan bawah, dan kini mereka telah kabur. Mengapa tidak kumanfaatkan banyaknya orang elit yang sering mondar-mandir di depan warungku. Tapi apakah mereka sudi bertandang ke warung bubur? Sementara mereka lebih rela menyodorkan sebagian isi dompetnya ke gerai hamburger, pizza, fried chicken, dan aneka masakan barat? Mereka akan anggap apa asupan bubur buatanku?

            Aku kembali berpikir, mengapa dulu aku memutuskan berjualan bubur sedangkan sebagian besar orang Rindunesia lebih menyukai nasi karena lebih tahan lama mengganjal perut? Sepertinya aku salah strategi dalam mewujudkan insting bisnisku. Kembali kusingkirkan pilihan untuk menggeser daya jual warungku untuk ditawarkan ke masyarakat eksekutif.

            Bagaimana jika aku lelang saja warung ini? Aku mendapatkan uang, meskipun tidak seratus persen kembali, tapi setidaknya bisa kujadikan modal untuk membuka usaha lain. Apakah pikiran ini realistis atau malah menjadi bumerang bagiku? Ah, bingung aku memilih. Aku harus berkonsultasi dengan istri tercinta agar beban ini tidak kutanggung sendiri. Sembari menunggu kedatangan istriku, aku menulis beberapa pilihan yang musti kulakukan di lembar harianku ini. Semoga ada jalan memulai bisnis baru di saat keadaan genting ini.

 

 

 

 

Tidak ada komentar