Tika Gadis Sering Mengejang (Bagian 2)
Kupancing Tika dengan suratku. Aku berharap dia mau kembali berkomunikasi, meskipun melalui bahasa tulisan. Ini kulakukan setelah komunikasi secara verbal masih belumlah efektif. Namun, kadang aku berpikir apakah yang kulakukan tak lebih dari sebuah eksperimen belaka. Layakkah aku melakukan seperti ini kepada Tika, gadis sembilan belas tahun yang sering mengejang. Apakah ini bisa dikatakan sebuah praktik terselubung padahal aku tak mempunyai barang sedikit ilmu psikologi?
Aku kembali hempaskan perasaan bersalahku itu, toh aku melakukan percobaan ini demi membantu teman baruku itu. Dia susah sekali mengucapkan kalimat, selalu tertahan di tenggorokannya. Otaknya pun berjalan lambat, mungkin karena permasalahan serius yang sukar diuraikannya. Sudah sering kucoba ajak berbicara, tapi aku sendiri yang kewalahan karena harus terus berkonsentrasi. Dan ini sungguh membutuhkan kesabaran tinggi, ketelatenan, dan kemampuan membaca pikiran Tika yang masih berantakan.
Akhirnya aku mengambil cara lain dengan komunikasi tulisan. Pertama aku sapa dengan ucapan salam. Aku merasa ini layaknya sebuah strategi untuk membuka pintu hatinya yang tertutup. Tuhan memang harapan terakhirnya setelah orangtuanya tak begitu peduli dengan keadaan Tika. Sempat aku bertanya keras di dalam hati, jenis makhluk apa mereka sehingga tega membiarkan anaknya tak diobati. Tapi aku harus jujur dalam hal ini, orangtua Tika juga mengalami sebuah tekanan dan dalam hal ini masalah ekonomi keluarga. Kondisi ini sebenarnya carut-marut, hingga konsentrasi untuk menyembuhkan Tika pun tertepis digantikan oleh masalah lain yang dianggap lebih penting ditanggulangi.
Kalimat kedua adalah menaikkan moral Tika dengan menyebutkan seperti: “Tika yang baik.” Penggunaan kata ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali rasa bangga terhadap dirinya sendiri setelah sekian lama terpuruk. Jika aku amati, Tika sebetulnya mengalami sebuah “kehilangan” rasa percaya diri akut. Mungkin juga ini dilatarbelakangi oleh rasa sakit hati di waktu lampau. Tapi prediksiku ini sulit dibenarkan karena saat aku coba mengorek sangat sulit. Simbah yang merawatnya juga terkesan menutup-nutupi masa lalu Tika. Tak separah orangtuanya memang. Sebelumnya aku menelusuri dari Tika langsung, tapi hasilnya nihil.
Setelah menaikkan moralnya, isi surat pun menyebutkan saran-saranku bagi kesembuhan Tika. Belum terstruktur memang caraku membidik Tika, karena memang aku bukan ahli psikologi. Tapi setidaknya aku belajar otodidak bagaimana menyikapi anggota keluarga yang tengah mengalami goncangan kejiwaan. Membutuhkan energi dan pikiran ekstra untuk melalui masa berat keluarga bapak kosku. Aku mulai bisa merasakan bahwa rasa empati dan simpati memang harus diasah terus. Dari kegiatan sekecil apapun.
Aku akan terus melaporkan pandangan mataku tentang kondisi mutakhir Tika. Doaku semoga Tika segera sembuh dan kembali belajar atau bekerja seperti teman-temannya yang lain.
Post a Comment