Header Ads

Mempankah Anjuran Pesinden untuk Menjadi Bangsa Kreatif?

    Tak ada yang berubah dari bangsa ini. Rindunesia masih seperti yang dulu. Reformasi, revolusi, perubahan, dan entah kata lain serasa menjadi sebuah kata yang mubazir. Mau tahu mengapa saya beropini seperti ini? Mari kita ulik.
    Mr. S, presiden Rindunesia ke-2, memopulerkan penggunaan akhiran "keun". Sontak semua elemen bangsa mengikutinya. Mr. Gus menelorkan kata "gitu aja kok repot!", seluruh penduduk menyukai kalimat itu. Dan sekarang, STY yang memelopori penyingkatan nama, tiba-tiba pada pilkada ala kadal goreng, balon-balonnya menyingkat nama pasangan.
   Model bangsa apa ini? Seakan tak punya prinsip. Ini tak ubahnya sebuah feodalitas yang terus menggerogoti tulang belulang. Berharap dihindari, tapi secara tidak langsung disukai. Saya tidak bermaksud memprotes hal ini. Tapi aneh sekali, di saat sang pesinden menggalakkan warganya untuk kreatif, ternyata memang tidak akan pernah kreatif.
   AMAN : Ali - Manyun
   HADE : Harum - Desy
   DARJO : Darsi - Jono
   BABI : Bambang - Bisul
   AYAM : Argo - Yamin kuah
   WASIR: Wawan - Sumirah
  dan masih banyak yang lainnya .... (Bang Rhoma, peace yauw)

Kalau saya untuk sementara masih mengharapkan Rindunesia dipimpin oleh seorang raja. Tapi raja yang bijak. Feodal sedikit tidak masalah.

Tidak ada komentar