Header Ads

Tetralogi Laskar Mejikuhibiu, Sang Pengigau

Narapidana baru itu masuk ke penjara khusus penjahat kelas tertinggi. Sebuah tempat pembinaan para pembunuh berantai, pemerkosa dan pembunuh janda tak beranak, pengedar narkotika kelas eksekutif, juga koruptor dengan omzet triliyunan. Diantar oleh dua sipir yang memegang lengannya sebelah atas, narapidana itu masih bisa mengumbar senyumnya. Tato di lengannya tampak berkilauan; sebelah kiri bertuliskan “I Love Andrea Kirata” dan sisi kanan ditulisi “Penggemar Habib El Syahrani”. Tak jelas memang, sepertinya dia merupakan penjahat intelektual.

            Kaca mata bertengger di hidungnya, posisinya di bawah mata yang semestinya. Dia melihat sambil menunduk, seperti gaya pemimpin bangsa Rindunesia yang keempat. Memandang sekeliling rumah barunya, narapidana dengan kepala plontos itu memindai seluruh penjara. Ada seorang narapidana yang sibuk menggerak-gerakkan jarinya seolah sedang menghitung uang korupsinya, ada juga yang matanya menunjukkan pandangan  kosong seperti orang yang haus belaian narkoba. Dia tertawa lepas hingga membuat dua sipir pengantarnya menekan pegangan mereka.

            “Kenapa kau tertawa? Bahagia ya hidup di penjara? Lima tahun bukan waktu yang sebentar, Tuan Guru!”

            Mengapa dia memanggil narapidana dengan “guru”? Apakah para sipir berpikiran guru tak lebih sebuah profesi yang membuat orang ujung-ujungnya masuk ke penjara. Lalu salah guru di mana? Mengajarkan bahan pelajaran bohong? Memutarbalikkan fakta sejarah dan menutup-nutupi kebenaran? Tunduk akan kekuasaan yang merenggut kebebasan berekspresi, dan yang ada hanyalah tugas merampungkan semua agenda pendidikan berupa kurikulum? Semoga para sipir tidak berpikiran seperti itu. Dan semoga saja itu hanyalah candaan yang tak mencerminkan kondisi guru. Bukankah guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa dan layak kita beri penghargaan setinggi-tingginya? Di luar kekurangan segelintir guru yang tidak mau mengasah kemampuan dan hanya menggosip kenaikan gaji tiap harinya.

            “Maaf, Pak Sipir sebelah kanan. Saya bukan guru. Tapi saya seorang intelektual berbakat yang mampu memelintirkan data-data, membuat arah pendidikan di luar nalar, mempermainkan harga buku-buku, dan yang lebih penting mendapat dukungan orang-orang kuat. Satu kebanggan saya adalah gelar saya dan saya memiliki kerja sampingan yakni mengajarkan dan mempromosikan penggunaan buku-buku bajakan!”

            “Sungguh usaha kriminal yang memakau dan di luar nalar. Tapi bukannya negeri kita, semua hal yang tak bernalar akan laku keras? Mmm ... setidaknya Anda telah membuat saya salut. Mungkin dalam beberapa hari saya akan berkunjung di sel bapak untuk berguru.” Komentar sipir sebelah kiri.

            “Oh boleh saja, saya akan menyediakan waktu lebih bagi Anda, pak Sipir sebelah kiri. Jadi teringat saya, biasanya hal-hal yang berbau kiri adalah pemihakan terhadap hal kurang baik. Tapi kali ini saya menemukan hal lain, Anda di kiri saya adalah orang yang baik. Selamat Anda telah berkenalan dengan orang tepat layaknya saya.”

            “Maaf untuk kalian berdua. Saya tidak sependapat. Bukan karena saya di sebelah kanan ingin mengutarakan kebaikan. Tapi pola pikiran kalian salah. Nyatanya pak Kriminal intelektual, Anda dihukum berarti Anda salah!” sela si sipir sebelah kanan.

            “Loh, itu kan masalah penafsiran. Bertahun-tahun saya melakukan manipulasi data dan pemikiran, nyatanya baru tahun kedua puluh lima saya ditangkap. Sepanjang kelakuan saya, berapa uang yang telah saya rampas. Jika dihitung pengeluaran konsumsi penjara ketika saya menjadi penghuni di sini selama lima tahun, bisa dipastikan saya masih untung dari segi finansial. Lima tahun waktu yang singkat untuk membersihkan nama saya. Setelah saya ke luar, saya masih bisa menikmati uang jarahan. Atau kalau saya dipanggil oleh Tuhanku, ahli warisku akan memeliharanya. Sungguh dunia yang adil di mataku. Di mata pengadil di tanah air kita!”

            “Masa bodoh dengan ocehanmu, Penjahat Intelektual. Anda dibui berarti salah. Masa bodoh dengan peraturan. Saya sebagai sipir penjara saja tak pernah mengetahui hak dan kewajiban narapidana. Orang masuk berarti salah. Tak peduli alasan apa pun yang melatarbelakangi kejadiannya. TITIK.”

            Kamar bui nomor 234, bernama Sampurna dalam Rasa, kini telah menyambut penjahat super idealis berotak dingin. Menebus dosa untuk kembali menikmati polah tingkahnya. 

 

 

 

 

Tidak ada komentar