Header Ads

Surat Kasih buat Polisi Rindunesia

    Jalanan Bandung sungguh ramai. Aneka motor dan mobil berhilr mudik kian kemari. Awan pun berarak menambah kesan damai. Namun, semua itu tak berlaku bagi seorang polisi. Ramai adalah kutukan, karena dia harus setengah mati mengatur lalu lintas. Mobil dan motor menjadi musuhnya, karena asap yang keluar dari knalpot mereka. Sang awan? Tak juga membuatnya tersenyum, namun menjadikannya kelabu hati.
   Wajah polisi itu tertutup masker. Seperti seekor sapi yang diberangus hingga ia tak bisa berbicara. Polisi itu mengerak-gerakkan tangannya; ke samping, ke kanan, kiri dan kadang memutar. Seperti gerakan robot mainan anak kecil. Prittt ... kadang dia tiup peluitnya tanda seseorang telah melanggar lalu lintas.
   Polisi itu berbadan tambun, dengan tumpukan lemak di perutnya. Wajah menghitam karena panas mentari, dan baju yang telah mengusang.
   "Tak adakah yang peduli padaku?" ucap lirih sang polisi.
   Dalam benakku, aku merasa kasihan kepadanya. Ingin aku memberikan sekuntum mawar sebagai tanda terima kasih. Ingin aku berikan air minum pelepas dahaga. Dan seringkali aku menginginkan sebuah percakapan hangat pembuncah hati.
   Bukan sebuah pertanyaan, "Pak Polisi, sudah berapa puluh ribu uang yang kau dapat dari operasimu?"
   Namun sebuah obrolan yang bisa mencairkan suatu hubungan abdi masyarakat dan jelata yang butuh kedamaian.
   Polisi ... Sebuah impian manis untuk menjadikannya mitra hidup.
   Jalanan kembali ramai saat bus mengepulkan asap hitam. Dan polisi itu meniup peluitnya.

Tidak ada komentar