Header Ads

Ketika Insan Mempertanyakan Jatah Pernikahan

Ketika sang rembulan sudah tak nikmat lagi dipandang , yang ada hanyalah kehampaan hati nan membelit raga. Tatkala ranjang meneriakkan kata-kata kepenatan, “Di manakah gerangan sang calon penumpang kedua, Tuan?”, dan jeritan sang guling menggema di sudut kamar meludah seakan enggan dipeluk, dia berujar,  “Kapan aku dicerai dan digantikan oleh puteri Jelita?”.  Sebuah cerita kontemplasi, perenungan diri, mencoba mengurai arti hidup.


 


Jika dalam agama disebutkan menikah akan membuka pintu rezeki karena terdapat penggabungan –pola fikir, hasrat dan ekonomi bawaan- dua insan yang dipersatukan, apakah hal ini berlaku bagi semua orang. Apakah dengan sekejap kondisi ekonomi akan membaik ketika kita memutuskan untuk tidak sendiri lagi. Sekilas memang hal ini benar sebab dengan serta merta pasangan akan berfikir keras bagaimana menghidupi keluarga barunya, tetapi ada yang masih mengganjal dalam konsep ini menurut kacamata pandangku. Mari kita simak.


 


Bumi terus berputar dari zaman sebelum terlahirkan Nabi Adam sampai dengan menara World Trade Center (WTC) dibom oleh teroris pada 11 September 2001, dan sekarangpun masih memegang teguh dan merelakan punggungnya diinjak-injak oleh makhluk. Seiring keletihan bumi, tiap detik anak-anak kecil dilahirkan oleh sang Bunda dengan bantuan sperma seorang Ayah yang dengan cerdasnya menembus pertahananan berjuta-juta sel telur di dalam rahim –semoga terlimpah rahmat Allah kepada semua Bunda di dunia. Barangkali semua itu adalah hal yang sangat wajar, semua orang juga pasti tahu, dari ada menjadi ada karena proses yang dibuat. Tanpa adanya usaha mengawinkan seorang lelaki dan perempuan mustahil hal ini bisa terjadi, walaupun sekarang ini ada cloning tapi tidak menjamin hasilnya sesempurna hasil karya daripada TanganNya.


 


Lampauan itu mutlak dilalui terlebih dahulu oleh sebuah lembaga perikatan antara dua manusia yaitu PERNIKAHAN –tapi ada pasangan yang tidak menikah namun memiliki keluarga, jangan sampai hal ini menjadi pilihan kita.


 


Terus terang untuk memikirkan pernikahan dengan menyatukan dua idealisme yang berbeda, masih belum –jangan sampai kebablasan- terlintas di dalam benak dan fikiranku. Aku sendiri tidak mengerti –untuk saat ini- apakah hal ini masih masuk dalam kewajaran ketika umurku sudah menginjak satu tahun melebihi Nabi Muhammad SAW –kumohon Syafaatmu ya Nabi- ketika Beliau menikah dengan Siti Khadijah. Nabi menikah ketika berumur 25 tahun, sebuah umur yang relative muda untuk ukuran saat ini. Kuembus nafas berat, kucoba relakan sehingga hatiku menjadi lebih ringan.


 


Dalam fikiranku masih tersimpan berbagai obsesi, yang kadang muluk, dan dengan sekuat hati ingin aku ciptakan dalam kehidupan yang sebenar-benarnya. Sebagai anak sulung dengan segala tanggung jawabnya, aku terdidik dengan egoisitasku yang tinggi, dengan pola fikirku yang idealis dan berbagai mimpi yang menjulang, membuat diriku agak terlupakan arti tidak enaknya hidup dengan kemampuan sendiri. Kebutuhan akan pendamping hidup sebagai teman berkeluh kesah tertutupi oleh derasnya keakuanku yang merasa yakin dengan tenagaku untuk mendayung kapal pinisiku. Berat kurasa, di hati selalu panas dan kadang meluap bak air bah yang siap menelan perkampungan peduduk. Apa lacur, hembusan angin tanda dari Sang Pencipta harus aku rasakan sebagai oase yang menyejukkan jiwa.


 


Usikan itu mulai mendera tatkala beberapa teman yang dekat denganku, pelan-pelan meninggalkan hangar bingarnya kehidupan masa kecil –sekali lagi ini proses, tolong hargai. Dunia berkumpul dengan kata-kata tersusun indah, ketika setiap tawa adalah hiburan belaka, makan satu mangkuk bisa dilakukan dengan santainya, semua itu telah mereka tinggalkan dengan perasaan merdeka atau bahkan mulai muncul kecongkakan membanggakan bahwa “Hei kawan, aku telah laku!”. Mereka dengan cepat memalingkan muka. Aku tidak merasa cemburu dengan keadaan kebahagiaan mereka, namun ada beberapa kasus ketika mereka berjalan di rel baru, perasaan melecehkan dengan mudah terucap dari bibir mereka –yang tidak sexy sekalipun. Mereka tidak sadar jikalau dalam peraihan cinta juga pernah jatuh bangun. Sekali lagi aku hargai pendapat mereka.


 


“Mereka telah meninggalkanku!”, sentakku.


 


“Ah, terlalu sentimental cerita ini, toh semua orang hidup dengan jalan mereka sendiri”, dalihku.


 


Keyakinanku hanya satu: Episode hidup itu –pernikahan- cepat atapun lambat akan menyapaku dalam heningnya suasana.


 


Berusaha dan mengembalikan semua wewenang hidup kepada Sang Juri


 


Tapi kadang juga mengeluh, semoga ini hanya emosi belaka. Tetap semangat dan biarkanlah kita bertransformasi –Hardi bahasamu aku pakai ya.


 


 


 

1 komentar:

  1. ketika baca tulisan kamu....aku ingat akan keseharianku yg selalu ada aja pertanyaan itu "kapan kmu nikah ?", "spt apa sich org yg km cari?".awalnya cuek tp lama2 kuping jg panas. pertanyaan2 lain muncul lg "apa sich dan yang kmu cari, kerja mapan sbg pegawai negeri, hidup nyaman dg fasilitas yg ada, tinggal tunggu apa lg?" napa sich perempuan harus selalu diingatkan u/ menikah (aku ga lupa kok krn aku jg pengen menikah) apa krn umur? takut diblg perawan tua? (aku ngga takut).Krn sampai skr aku belum menunjukkan tanda2 akan adanya pernikahan, org2 dengan seenaknya men-judge "kamu terlalu pilih2 sich...ato...kriteria kmu terlalu tinggi sich...." (apa yg mereka tau ttg kriteriaku).aku akan menikah hanya dg org yang Dia pilih untukku, salahkah ku jika aku masih menunggu datangnya org pilihan itu???

    BalasHapus