HUKUMAN dari BU GURU
Bongkar bongkar lemari, saya menemukan buku yang akan membuka satu di antara ribuan kenangan masa kecil saya. Buku halus. Sekarang mungkin tak akan saya temui murid murid SD memakai buku seperti ini. Dulu, guru mewajibkan kami untuk berlatih menulis huruf bersambung. Susahnya minta ampun menulis sehalus mungkin yang membutuhkan kesabaran. Pun saya membuka buku halus ini jadi tertawa sampai meneteskan air mata.
Bu Parmi yang saat ini ada di pikiran saya. Ia sudah meninggal, saya mendapat kabar dari teman SD saya. Galak banget guru yang satu itu. Penghapus papan tulis, jangka ukuran jumbo, atau bolpen sering melesat dari tangannya. Mungkin Bu Parmi bercita cita jadi atlet lempar lembing atau tolak peluru, namun takdir mengatakan ia seorang guru. Karena kecewa, kalau murid muridnya tak mengindahkan instruksinya dijamin kepala satu dua muridnya bocor.
'Anak BODOH?!' teriak Bu Parmi sambil menggebrak meja. Payudaranya yang besar tampak anjlok. Seisi kelas menunduk ketakutan.
Itu karena kami tak mengerjakan PR pelajaran bahasa. Ribuan umpatan ke luar dari mulut Bu Parmi dengan matanya melotot yang nyaris jatuh. Pengin rasanya saya berlari mendekati Bu Parmi untuk menyambar bola matanya yang jatuh buat mainan bola sepak.
Kami memang suka bermain di depan kelas. Apalagi jam istirahat, ada ada saja jenis mainan yang kami lakukan tempo dulu. Lompat tali, gobak sodor, kelereng, dan masih banyak lagi. Semua indah dan kami selalu menanti nantikan jam istirahat.
Tapi kalau Bu Parmi mau masuk kelas, dari jauh bau badannya seolah sudah kami baui seperti bangkai tikus. Kami ketakutan dan menghambur ke dalam kelas. Sikap duduk sedekap dengan tangan melipat di bangku dan mata tegas ke muka kami siapkan menyambut Bu Parmi.
★★★
Saya tidak akan bercanda lagi
Saya tidak akan bercanda lagi
Saya tidak akan bercanda lagi
Geli bercampur sedih saya membaca kembali di salah satu halaman buku halus di tangan saya ini. Saya kangen Bu Parmi terus terang. Meski ia sangar namun memberikan kenangan tak terhingga. Hukuman Bu Parmi lah yang menyulut semangat saya sampai sekarang.
'Apa cita citamu?' tanya Bu Parmi pada seisi kelas.
Bu Parmi berkeliling sembari menunjuk ke murid murid. Ada yang pengin jadi dokter, presiden, pilot, atau guru. Bu Parmi tampak tersenyum puas membayangkan anak anak didiknya sukses dengan uang melimpah. Tiba giliran saya.
'Danie, apa cita citamu, Nak?' Bu Parmi bertanya dengan raut bahagianya dan berharap saya sama seperti teman teman lain. 'Dokter kan?'
Saya menggeleng dan berkata: 'Pelawak!'
Bu Parmi marah besar dan menjerit sekuat tenaganya. Ia seperti kesurupan dan tak menerima jika murid terbaiknya ialah saya mencita citakan dirinya sebagai pelawak.
'Danie .... Ibu bisa gila kalau kaya gini?! Besok, bapak atau ibumu suruh menghadap ibu guru!' kata Bu Parmi tak terkontrol. Dan saya mendapat hukuman menulis "Saya tidak akan bercanda lagi."
Bu Parmi, maafkan muridmu yang satu ini. Hati saya sampai sekarang masih menyimpan energi untuk jadi pelawak andal. Alasannya belum sempat saya berikan padamu. Tapi bagi saya, melawak ialah ibadah yang berlipat lipat. Menyenangkan orang apalagi melihat mereka tersenyum bahkan tertawa adalah kebahagiaan tersendiri.
Saya tutup buku halus ini. Tak kuat saya menahan luber air mata. Pun saya mendoakan Bu Parmi semoga di alamnya lebih galak lagi.
Post a Comment