A Message from a Little God?
Sibuk oleh pekerjaan yang menggunung, aku telat makan. Sekarang jam dua belas lewat, perutku bergolak berkata padaku seperti orang marah marah: 'Tuan pelit! Tuan banyak duit tapi zalim ....'
Kupukul perutku tiga kali dengan telapak tangan kananku. 'Tenang sebentar wahai kau perut. Lima belas menit lagi. Kukirim email ke Jakarta, rampung, kita makan nasi Padang!'
Perutku memang anteng kalau diajak makan nasi Padang yang porsinya seperti makan buruh bangunan. Maaf jika kalimat ini melecehkan. Tapi benar, setelah menyantap rendang, daun singkong yang dikucuri kuah pedasnya, perutku tak protes lagi dan itu menenangkanku.
You've received an email from Lawrence. Anda menerima email dari Lawrence.
Laptopku memunculkan tanda sebuah pesan masuk.
'Sebentar!' kataku pada diri sendiri.
Tak, tik, tak, tik. Kuketik email dan SEND! Kerjaanku berhasil dikirim ke Jakarta. Aku siap beranjak, bangkit dari kursi, mengajak perutku berdansa ke warung makan Padang.
'Tunggu!' aku teringat email Lawrence. 'Kucek dulu.'
Perutku kembali rewel, 'Tuan, sampai kapan Anda memperlakukan saya terus terusan seperti ini?!'
***
Lawrence kutemui tiga tahun lalu di stasiun bus. Ia seorang pengelana Amerika Serikat, penggembel kere kasarnya. Berkeliling dunia, ia sudah menikmati berbagai penjuru Bumi yang meneguhkan mentalnya. Gaya bicaranya halus, tertata, dan pancaran matanya menampilkan keteduhan yang tak dibuat buat. Waktu itu hanya seperempat jam kami mengobrol karena masing masing kami harus melanjutkan perjalanan. Bertukar alamat emaillah kami. Kami pun akrab sejalan waktu.
Email Lawrence begini: 'What Ustaz is, Danie?'
Bayanganku melesat ke kumpulan para janggut berjubah putih bersih yang tadi pagi kutemui di jalan sedang berteriak teriak. Aku tak begitu memperhatikan tema dan masalah apa yang mereka protes. Tentang Amerika Serikat! batinku sekarang memutuskan. Mereka para pemakai surban ingin Amerika Serikat minggat dari muka Bumi. Ke Planet Mars? Dekat dengan Matahari? Terbakar dong ....
Aku tak mau jauh jauh menilai. Lawrence saja yang kujadikan acuan karena ia potret terutuh dari warga Amerika Serikat. Rugi aku berburuk sangka seperti menabur garam ke lautan. Menguras energiku. Teman mayaku selalu bercerita hal hal baik padaku. Pernah suatu kali ia salah menilai tentang pendidikan Indonesia, ia pun bertanya padaku, aku menjelaskan, dan semua jadi jelas. Aku pun berinteraksi dengannya bertanya ini itu tentang Negeri Paman Sam kepadanya. Kami damai.
Lalu, kenapa Lawrence tiba tiba bertanya tentang 'ustaz'?
'Ayo, Tuan kita makan ....' perutku kembali merengek.
'Oke, nanti aku balas, Lawrence!' seruku meninggalkan ruang kerjaku.
Di jalan, menuju warung makan, aku berpapasan dengan seorang pengemis. Lalu kuberteriak padanya: 'Lawrence, ustaz sudah ketemukan di sini! Ya, dia sedang beraksi di jalan ....'
'Sudah, ayo makan, Tuan ....' perutku berkata dalam suaranya yang memelas.
'Oke!' jawabku.
___________________
Mengobrol teduhlah kita di www.rumahdanie.blogspot.com
Sumber gambar: seanlytle.com
Kupukul perutku tiga kali dengan telapak tangan kananku. 'Tenang sebentar wahai kau perut. Lima belas menit lagi. Kukirim email ke Jakarta, rampung, kita makan nasi Padang!'
Perutku memang anteng kalau diajak makan nasi Padang yang porsinya seperti makan buruh bangunan. Maaf jika kalimat ini melecehkan. Tapi benar, setelah menyantap rendang, daun singkong yang dikucuri kuah pedasnya, perutku tak protes lagi dan itu menenangkanku.
You've received an email from Lawrence. Anda menerima email dari Lawrence.
Laptopku memunculkan tanda sebuah pesan masuk.
'Sebentar!' kataku pada diri sendiri.
Tak, tik, tak, tik. Kuketik email dan SEND! Kerjaanku berhasil dikirim ke Jakarta. Aku siap beranjak, bangkit dari kursi, mengajak perutku berdansa ke warung makan Padang.
'Tunggu!' aku teringat email Lawrence. 'Kucek dulu.'
Perutku kembali rewel, 'Tuan, sampai kapan Anda memperlakukan saya terus terusan seperti ini?!'
***
Lawrence kutemui tiga tahun lalu di stasiun bus. Ia seorang pengelana Amerika Serikat, penggembel kere kasarnya. Berkeliling dunia, ia sudah menikmati berbagai penjuru Bumi yang meneguhkan mentalnya. Gaya bicaranya halus, tertata, dan pancaran matanya menampilkan keteduhan yang tak dibuat buat. Waktu itu hanya seperempat jam kami mengobrol karena masing masing kami harus melanjutkan perjalanan. Bertukar alamat emaillah kami. Kami pun akrab sejalan waktu.
Email Lawrence begini: 'What Ustaz is, Danie?'
Bayanganku melesat ke kumpulan para janggut berjubah putih bersih yang tadi pagi kutemui di jalan sedang berteriak teriak. Aku tak begitu memperhatikan tema dan masalah apa yang mereka protes. Tentang Amerika Serikat! batinku sekarang memutuskan. Mereka para pemakai surban ingin Amerika Serikat minggat dari muka Bumi. Ke Planet Mars? Dekat dengan Matahari? Terbakar dong ....
Aku tak mau jauh jauh menilai. Lawrence saja yang kujadikan acuan karena ia potret terutuh dari warga Amerika Serikat. Rugi aku berburuk sangka seperti menabur garam ke lautan. Menguras energiku. Teman mayaku selalu bercerita hal hal baik padaku. Pernah suatu kali ia salah menilai tentang pendidikan Indonesia, ia pun bertanya padaku, aku menjelaskan, dan semua jadi jelas. Aku pun berinteraksi dengannya bertanya ini itu tentang Negeri Paman Sam kepadanya. Kami damai.
Lalu, kenapa Lawrence tiba tiba bertanya tentang 'ustaz'?
'Ayo, Tuan kita makan ....' perutku kembali merengek.
'Oke, nanti aku balas, Lawrence!' seruku meninggalkan ruang kerjaku.
Di jalan, menuju warung makan, aku berpapasan dengan seorang pengemis. Lalu kuberteriak padanya: 'Lawrence, ustaz sudah ketemukan di sini! Ya, dia sedang beraksi di jalan ....'
'Sudah, ayo makan, Tuan ....' perutku berkata dalam suaranya yang memelas.
'Oke!' jawabku.
___________________
Mengobrol teduhlah kita di www.rumahdanie.blogspot.com
Sumber gambar: seanlytle.com
Post a Comment