Kita Keluarga Besar di Capoeira Senzala
'Di Capoeira, saya menemukan sebuah keluarga ....'--Mas Leo
Mas Leo mengucapkan kalimat itu dengan sesengukan. Air matanya tumpah, bibirnya bergetar getar, dan kuyakin hatinya seperti tersayat sayat saking memaknai betapa capoeira sangat berarti baginya. Ia melanjutkan jika capoeira telah memberinya sangat banyak pelajaran; solidaritas, kekompakan, pantang menyerah, semuanya. Saat menceritakan ini padaku, aku tertulari semangatnya. Sama dengan saat berlatih. Meskipun Mas Leo bertubuh sangat besar, kuda nil Mesir jika berpapasan dengannya akan mati kejang kejang, jangan tanya gerakannya. Mengguncang dunia!
'Dan, kapan kita semua bisa senang senang lagi kaya di Pantai Sundak kemarin ya?' tanyanya padaku.
'Wah, kalau bisa sih seminggu sekali, Mas. Kita happy!' jawabku berteriak.
'Coba kalau bisa begitu ya?' kembali lagi, jiwa sensitif Mas Leo timbul. Kuberikan tisu padanya, ia menyahut cepat seperti pendekar yang tak mau ketahuan membawang matanya.
Lalu kami mengobrol acara keakraban sekaligus ulang tahun Capoeira Senzala Jogjakarta yang ke-13 di Pantai Sundak, Wonosari, Gunung Kidul.
***
Minggu pagi di hari kedua, kami dibangunkan oleh sirine yang meraung raung dan suara dari TOWA yang aneh: "Thithit goreng, sayur asem! Siapa yang tidak bangun, kami antem!" Thithit ialah kata lain dari penis. Dan antem berarti hantam. Semua capoerista bangun, mengucek ucek mata, dan melap iler yang mengering di muka mereka. Semalam kami makan bebakaran--ada ikan, ubi, dan daging domba Idul Adha--yang membikin kami tidur sangat pulas. Malah ada satu capoeirista yang mendengkur keras dan mengigau minta khitan untuk kedua kalinya.
Ketua suku yang berbodi gempal, kulit hitam, dan giginya agak tonggos, telah berdiri berkacak pinggang. Ia menatap lekat lekat kami anak didiknya.
'Ayo, kita menuju pantai! Kita latihan ....' serunya dalam mulutnya yang membuka lebar seperti ingin melahap corong TOWA.
Beberapa capoeirista masih enggan, namun segera bangkit karena teriakan sang Ketua Suku terus meledak dan memekakkan telinga.
'Bangkit! Matahari sudah galak menantang kita!' teriaknya.
Berlari lari kecil sambil mengeretakkan tulang, kami semua menuju pantai yang jaraknya lumayan jauh dari penginapan. Sesampai di tujuan, kami membentuk lingkaran dan Ketua Suku di tengah tengah memberi aba aba pemanasan.
'Kepala diputar .... ya, benar!' perintahnya. 'Pinggang dipelintir, ya terus nikmati!'
Mas Leo agak masam mukanya entah karena tersinggung karena pinggangnya yang berdiameter di atas rata rata. Namun ia menuruti karena komando harus dilaksanakan tanpa harus menggerutu.
'LARI memutar ....' si Ketua Suku berseru sambil memberi rintangan dengan tongkat panjangnya.
Kami berlari tersuruk suruk oleh pasir pantai yang seolah menahan pergerakan kami. Rasanya berat sekali sekadar mengangkat kaki. Menyadari pasir Pantai Sundak yang putih bersih, semua tekanan meluap berganti semangat membara. Kami tertawa lebar dan berubah sebuah roket yang disulut dan BUZZ ....
Berlatih capoeira di pantai sangat berbeda dengan di arena bermatras. Koprol, salto, terbang, handstand, headstand, atau gerakan lain membuat kami tak takut jatuh karena pasir pantai ini sangat empuk. Katja dan Svejna ikut lebur dalam suka ria kami bermain capoeira. Mereka berkali kali terguling, terjerembab, namun tetap bersemangat sambil terus terusan tersenyum. Capoeira memang luar biasa karena keakraban dan saling membantu. Itu wajib terjadi di olahraga seni beladiri ini.
--------
Sumber gambar: Dokumentasi Capoeira Senzala Jogjakarta
Post a Comment