Sang Pejalan Langit
Aku ingat ia punya sepatu. Putih menjurus cokelat akibat lumpur. Tak sedap dilihat, bikin geleng geleng kepala sambil hati ingin mengusir temanku itu. Karena ia orang cuek. Apapun yang orang alamatkan padanya, ia selalu bilang:
'Apa urusanmu? Ini hidupku. Tak patut kau mengusik apa yang kuyakini. Paling penting, aku punya sepatu ini!'
Ia menunjukkan sepatu kotornya yang meng
hantam mataku sampai ingin kumuntah.
'Apa yang spesial dari sepatumu sih ....' tanyaku senewen.
Ia merapikan rambut jambulnya. Kusimak ubannya sempurna menguasai kepalanya.
'Sepatuku lebih dari Dahlan Iskan,' ucapnya serius. Matanya tak berkedip. 'Aku tak berniat membandingkan. Cuma, sepatuku kalau aku melompat solnya memantulkanku ke langit!'
Antariksa nama temanku itu. Sedari kecil ia menggemari keangkasaan. Meski takdir sekarang menempatkan ia jadi pengusaha, tak hilang ambisinya menaklukkan dan menyibak rahasia langit.
'Bagaimana kau bisa memantul ke angkasa dengan sepatumu, Sa?' tanyaku lagi.
Antariksa mengangkat tangannya, mengacungkan telunjuknya, dan mengetuk ngetukkan ke pelipisnya.
'Karena aku Pejalan Langit, aku bebas berimajinasi dalam tanggung jawabku.'
'Sutralah, Sa ....'
'Apa yang spesial dari sepatumu sih ....' tanyaku senewen.
Ia merapikan rambut jambulnya. Kusimak ubannya sempurna menguasai kepalanya.
'Sepatuku lebih dari Dahlan Iskan,' ucapnya serius. Matanya tak berkedip. 'Aku tak berniat membandingkan. Cuma, sepatuku kalau aku melompat solnya memantulkanku ke langit!'
Antariksa nama temanku itu. Sedari kecil ia menggemari keangkasaan. Meski takdir sekarang menempatkan ia jadi pengusaha, tak hilang ambisinya menaklukkan dan menyibak rahasia langit.
'Bagaimana kau bisa memantul ke angkasa dengan sepatumu, Sa?' tanyaku lagi.
Antariksa mengangkat tangannya, mengacungkan telunjuknya, dan mengetuk ngetukkan ke pelipisnya.
'Karena aku Pejalan Langit, aku bebas berimajinasi dalam tanggung jawabku.'
'Sutralah, Sa ....'
Post a Comment