Perempuan Penunggu Kuburan
Ia hanya muncul jam sembilan pagi sampai tiga sore. Hari ke hari, perempuan berambut panjang berkulit gosong ada di kuburan. Di samping nisan warna biru. Suaminya kah yang di dalam tanah? Atau, jabang bayinya kah yang meninggal saat persalinan? Tak ada yang tahu. Satu kepastian, ia hobi merenung di kuburan saat matahari terik.
Warga kampung jadi usil menggunjing pere
mpuan penjaga kuburan itu. Ada yang menggumam biasa, tak jarang berkomentar pedas.
'Dia lagi cari pesugihan!' seru Pak Ketua RW sambil melepas kopiahnya. 'Kita kudu ingatkan dia!'
Karena padatnya jadwal pak RW, ia lupa melaksanakan apa yang ia katakan. Amnesia telah menyerang otaknya.
'Wanita itu ...,' ucap cuek seorang ibu tambun. 'Biarin saja. Dia pindah pindah kampung, cari kuburan untuk dia duduk tiap pagi sampai siang!'
'Lalu apa yang dia lakukan?' tanya temannya di sampingnya.
Bahu bahu terangkat tanda tak tahu. Pohon asem di atas mereka seperti beranak banyak dengan buahnya yang banyak.
'Kita samperin dia!'
'Oke. Kapan?'
Si ibu tambun berkata sekarang. Meluncurlah mereka ke kuburan.
Bulu bulu tangan bergidik. Ada ketakutan yang menjalar ke badan dua ibu yang penasaran itu. Wajah mereka memucat, berjalan tertahan, dan berniat balik rumah.
'Ngeri, Jeng!' kata si ibu yang langsing. 'Kalau dia lelembut gimana?'
'Jadi tidak?!' Si ibu tambun berkata dengan lututnya beradu.
'Aku takut .... Dia ntar makan kita!'
'Sama. Ayo pulang saja!'
Di kuburan, perempuan penunggu mengorek ngorek tanah dengan ranting. Ia menulis: 'Kalau yang mati banyak, usaha bikin peti mayat, kijing, bunga sebar, pasti maju pesat.'
Perempuan itu pengusaha yang tengah survei kuburan, menghitung kebutuhan ini dan itu, segalanya.
'Baik. Cukup!' Ia bangkit sembari mengibaskan roknya. Tanah berjatuhan. 'Saatnya ke kuburan Pecinan kampung sebelah. Lebih sip kayanya.'
'Dia lagi cari pesugihan!' seru Pak Ketua RW sambil melepas kopiahnya. 'Kita kudu ingatkan dia!'
Karena padatnya jadwal pak RW, ia lupa melaksanakan apa yang ia katakan. Amnesia telah menyerang otaknya.
'Wanita itu ...,' ucap cuek seorang ibu tambun. 'Biarin saja. Dia pindah pindah kampung, cari kuburan untuk dia duduk tiap pagi sampai siang!'
'Lalu apa yang dia lakukan?' tanya temannya di sampingnya.
Bahu bahu terangkat tanda tak tahu. Pohon asem di atas mereka seperti beranak banyak dengan buahnya yang banyak.
'Kita samperin dia!'
'Oke. Kapan?'
Si ibu tambun berkata sekarang. Meluncurlah mereka ke kuburan.
Bulu bulu tangan bergidik. Ada ketakutan yang menjalar ke badan dua ibu yang penasaran itu. Wajah mereka memucat, berjalan tertahan, dan berniat balik rumah.
'Ngeri, Jeng!' kata si ibu yang langsing. 'Kalau dia lelembut gimana?'
'Jadi tidak?!' Si ibu tambun berkata dengan lututnya beradu.
'Aku takut .... Dia ntar makan kita!'
'Sama. Ayo pulang saja!'
Di kuburan, perempuan penunggu mengorek ngorek tanah dengan ranting. Ia menulis: 'Kalau yang mati banyak, usaha bikin peti mayat, kijing, bunga sebar, pasti maju pesat.'
Perempuan itu pengusaha yang tengah survei kuburan, menghitung kebutuhan ini dan itu, segalanya.
'Baik. Cukup!' Ia bangkit sembari mengibaskan roknya. Tanah berjatuhan. 'Saatnya ke kuburan Pecinan kampung sebelah. Lebih sip kayanya.'
_____
Sumber gambar: kentutsiangbolong.blogspot.com
Post a Comment