Yogyakarta yang tak lagi ramah kepada Pejalan Kaki dan Pengayuh Sepeda
Jika saja penghuni jalan menjadi pejalan, betapa tak ricuh kota indah ini. Guliran cerita tak cepat, tapi laun penuh syahdu. Derai tawai dari gerigi mentimun unjuk, tidak bising knalpot yang menggantikan katup mulut bisu congkak. Di jalan Mangkubumi menuju Malioboro yang terkenal seantero dunia, saya bertanya: Mengapa kaki kaki jenjang kita biarkan melunglai otot ototnya? Membiasakannya menginjak rem dan perseneleng dari mesin mesin haus bensin? Atau jika sedikit malas, pedal sepeda biarlah dikayuh. Agar tak jadi kita bermanja suka.
Bukan penolak teknologi bernama mesin. Tidak pula penganut fanatik prinsip fundamentalis ala teroris. Selayaknya diri saya memandang, jika menggunakan mesin dengan tak tepat, tak ubahnya kita menjadi mayat. Ya, pesakitan yang menuju liang lahat.
Bermimpi Yogyakarta yang ramah kepada pejalan kaki dan pengayuh sepeda.
Bukan penolak teknologi bernama mesin. Tidak pula penganut fanatik prinsip fundamentalis ala teroris. Selayaknya diri saya memandang, jika menggunakan mesin dengan tak tepat, tak ubahnya kita menjadi mayat. Ya, pesakitan yang menuju liang lahat.
Bermimpi Yogyakarta yang ramah kepada pejalan kaki dan pengayuh sepeda.
woooww postingan nya kluar smpek 10 postingan tuch mas di inbox hehhehehheheheh
BalasHapusGa tau ne. Saya pencet eror.Eh ko ngepos ya.
BalasHapusSering lo. Ha6. Tp its oke lah. Salah sy ko. Dimaafkan y. Plis
BalasHapusSaya maafkan, Mas. Sudah terlampau sering. Wekwekwek.
Trims Paman
BalasHapus