FLORENCE SIHOMBING
Dear Florence,
Bagaimana kabarmu, Sobat saya? Kabar menampar telinga saya mengatakan jika kamu sedang limbung mental, ya? Apakah karena bully yang dalam hitungan jam menampar muka dan jiwamu? Tenang, saya berada di sampingmu untuk memastikan tubuhmu tidak jatuh pingsan. Pun jika kau sudah tak kuat lagi, katakan pada saya, saya papah dirimu ke tempat teduh yang di situ pohon beringin besar rindang bisa kita jadikan tempat mengobrol. Kita berdiskusi.
Florence yang sedang tidak enak badan,
Dengarkan ucapan saya dan cermati detail wejangan yang saya akan berikan. Sekali lagi, yakinlah jika saya berada di pihakmu. Saya tidak memosisikan diri sebagai penghujat balik atas ucapanmu di media sosial sama seperti karib saya yang mencintai Jogja sepenuh hati bahkan membabi buta. Tempatkan saya sebagai sahabat barumu karena saya tulus ingin menjelaskan apa itu Jogja.
Jogja bagi saya surga. Dan jika Florence, iya kamu, menyebut Jogja "bangsat", itu benar adanya. "Bangsat kerennya!". Bukankah kata bangsat memiliki makna positip pula mengikuti konteks dan niat si pengucapnya. Kamu benar, Florence! Ketahuilah, saya pribadi selalu melatih diri saya untuk selalu berpikir positip pada siapa dan apapun. Dalam diri orang jahat pasti ada kebaikan meskipun seukuran biji cabai. Jadi, kawan Jogja lah yang sebetulnya belum bisa menangkap arti perkataanmu, Florence. Teguhkan hatimu!
Tapi Florence, memang kalau boleh saya menilai, dirimu rada salah sedikit ketika Jogja menyebalkan. Bukan kotanya yang kamu maksud kan? Orang orangnya dan itu segelintir yang kau maksud? Yup .... saya pikir teman teman kampusmu tidak memberikan pengertian bagimu apa baik buruknya Jogja. Apa mereka terlalu sibuk dengan diri masing masing, ya? Atau, mereka tidak mau mendekatimu dan jarang mengajakmu jalan jalan entah itu ke keraton, pantai, pasar, atau menonton pertunjukan seni yang bagus namun gratis? Ini kesalahan kampus UGM yang sepertinya mulai bergeser jadi tempat adu kekayaan dan tidak seperti dahulu waktu saya kuliah sarat mahasiswa asal kampung.
Florence, saya beri dirimu apresiasi mau? Tidak apa apa. Saya tidak menuntut dirimu memberi timbal balik. Siap kan saya menilaimu?
Penilaian itu agak di luar prediksimu. Terima kasih atas tamparanmu yang beringas. Justru dengan ini akan menguji kedewasaan menyikapi masalah yang sebenarnya biasa dan tidak penting. Kenapa tidak harus dipedulikan karena saya mengerti Florence sedang mengalami kejut budaya sehingga sangat wajar emosional. Dengan kejadian ini, kita antar etnis lebih padu dan dinamis membangun adab yang lebih matang. Serius ini, Florence!
Terakhir, saya berdoa semoga dirimu masih di Jogja meneruskan dan merampungkan studi S2 mu. Saya tahu percis beratnya kuliah di UGM bagi orang asal kampung. Tapi itulah tantangan hidup. Florence, kau harus ikuti prinsip saya yang satu ini:
Pantang pulang kalau sudah berniat kuliah di Jogja. Kembalilah membawa ijazah untuk ayah dan ibu di rumah.
Sukses buat semua, ya. Mari kita berdua memohon maaf yang tulus buat orang dan Kota Jogja.
Salam persahabatan dari saya.
DANIERA
Post a Comment