Mujahid itu bernama Pengamen Gerbong Kereta Jurusan Semarang-Malang
Mata tak kuat menahan kantuk. Tapi suara itu mengangguku. Tepukan, gemerincing, gesekan dari beberapa alat musik. Juga nada-nada yang digulirkan sekelompok pemuda. Di kereta ekonomiku menuju Malang, kota yang dikabarkan sejuk tak kalah dari Bandung. Aku memutuskan bergerak ke arah Timur Pulau Jawa, berharap rasa penasaranku akan provinsi Jawa Timur mereda. Untuk diletup letupkan kembali jika waktu terus berpihak kepadaku. Menjelajah negeri, tak berharap waktu membatasiku, aku mencecap segala keindahan. Nusantara yang sangat kucintai.
Hei, Janda muda. Kau, ditinggal mati suamimu. Aku ingin mendekat padamu. Beberapa kalimat sayup sayup kuterima. Amat familiar dengan telingaku. Sontak aku tegakkan punggungku. Lantai gerbong yang menjadi tempat dudukku tak menjadi penghalangku untuk menikmati lagu yang mereka tawarkan. Para penumpang aku lihat sudah banyak yang tidur. Jikalau belum, itu tandanya mereka tak terbiasa melakukan perjalanan dengan kereta murah kelas jelata. Pengasong yang berseliweran tampak tak suka akan kehadiran para pengamen, yang menyanyikan lagu Janda-jandaan di malam buta, dini hari di kereta ekonomi. Menghalangi jalan saja.
Mustahil, jika kita memakai akal normal. Bagaimana bisa mereka mencari nafkah dalam keadaan yang tak biasa seperti ini? Orang orang gila yang berpikiran mendapat uang di dalam perjalanan antara Semarang dan Malang. Mungkin saja mereka memiliki rute. Naik di Solo turun di Madiun. Berharap dari gerbong ke gerbong ada penderma yang sudi memberikan sekoin dua koin rupiah. Tapi aku tebak yang mereka lakukan juga merupakan bentuk penunjukkan diri mereka; Hai Dunia, kami tidak mati! Langkahi dulu mayat kami, sebelum kau menerima mayat kami. Pikiran ekstrem menggiringku berpikir seperti itu. Para penantang hidup bernama para pengamen gerbong kereta.
Kuiikuti irama lagu mereka. Mengasyikkan walaupun aku sadar jenis musiknya jauh dari kegemaranku. Bukan jazz tapi dangdut. Tapi dangdut ini sungguh menarik. Hanya bisa dirasakan jika menikmati kemegahan dunia di atas gerbong ekonomi yang penuh sesak. Penuh peluh, perjuangan menantang hidup. Menantang hidup.
Hei, Janda muda. Kau, ditinggal mati suamimu. Aku ingin mendekat padamu. Beberapa kalimat sayup sayup kuterima. Amat familiar dengan telingaku. Sontak aku tegakkan punggungku. Lantai gerbong yang menjadi tempat dudukku tak menjadi penghalangku untuk menikmati lagu yang mereka tawarkan. Para penumpang aku lihat sudah banyak yang tidur. Jikalau belum, itu tandanya mereka tak terbiasa melakukan perjalanan dengan kereta murah kelas jelata. Pengasong yang berseliweran tampak tak suka akan kehadiran para pengamen, yang menyanyikan lagu Janda-jandaan di malam buta, dini hari di kereta ekonomi. Menghalangi jalan saja.
Mustahil, jika kita memakai akal normal. Bagaimana bisa mereka mencari nafkah dalam keadaan yang tak biasa seperti ini? Orang orang gila yang berpikiran mendapat uang di dalam perjalanan antara Semarang dan Malang. Mungkin saja mereka memiliki rute. Naik di Solo turun di Madiun. Berharap dari gerbong ke gerbong ada penderma yang sudi memberikan sekoin dua koin rupiah. Tapi aku tebak yang mereka lakukan juga merupakan bentuk penunjukkan diri mereka; Hai Dunia, kami tidak mati! Langkahi dulu mayat kami, sebelum kau menerima mayat kami. Pikiran ekstrem menggiringku berpikir seperti itu. Para penantang hidup bernama para pengamen gerbong kereta.
Kuiikuti irama lagu mereka. Mengasyikkan walaupun aku sadar jenis musiknya jauh dari kegemaranku. Bukan jazz tapi dangdut. Tapi dangdut ini sungguh menarik. Hanya bisa dirasakan jika menikmati kemegahan dunia di atas gerbong ekonomi yang penuh sesak. Penuh peluh, perjuangan menantang hidup. Menantang hidup.
Post a Comment