Nasionalisme dan Niat Hijrahku ke Negeri Belanda
Keramaian di kantor imigrasi. Bayangan awalku, sebuah gedung angker dan berhantu, runtuh seketika. Inilah gerbang pembukaku menuju cita cita besar, meretas asa di negeri orang. Anganku hinggap di Negeri Belanda, setelah tidur lelap dalam balut kepompong. Kini aku terbang dengan kepak maut a la Kho Ping Ho yang tidak pernah kukenal.
Lalu kenapa Belanda? Bukankah kakek moyang kita diperkosa amat sadis oleh anggota KNIL? Tak percayakah aku dengan fakta bahwa banyak buruh dipaksa bekerja dengan judul besar Rodi?
Aku tidak berniat melacurkan diri kepada bangsa yang telah menginjak harga diri kita selama 350 tahun. Hitunglah jika setahun harta karun kita diambil 1 milyar. Banyak bukan? Tapi, kalkulasiku sebagai insinyur sipil tidak sekasar ahli ekonomi. Mereka memusingkan diri sendiri. Aku lebih jernih. Tak harus berpayah payah dengan otak bersungut sungut. Tujuan besarku ke Belanda adalah membawa misi santun, mencoba menjadi pengalir kebudayaan Nusantara ke Negeri Keju itu. Memang terkesan sembrono. Jujur leherku tak kuat menahan tebas kapak algojo hukum. Tapi misiku jelas: Membuka sejarah tanah air meskipun sedikit.
Selayaknya kita bersikap adil. Untuk apa menilai bangsa lain sampai ujung amarah jika mereka penjajah. Tak ada guna. Capai sendiri kita dibuat. Pandanganku menyelidik, bangsa yang besar jika ia memaafkan para penjajahnya. Penjajahan berawal dari sudut pandang. Jika masa lalu kita ambil sebagai refleksi, justru menjadi gizi baik bagi jaringan negara.
Miris mengikuti perkembangan negeriku tercinta. Tak tega dan menangis batin. Memang masih butuh waktu yang panjan. Energi yang besar dan tak putus napas. Agaknya sangat pantas jika kita mengakui kita sudah menjadi bangsa skizofrenia. Membuat negara sendiri, negara khayalan dengan trauma yang pekat. Ini tak ubahnya menjadi penjajah bagi diri sendiri. Kita terjebak oleh sebuah permainan rasa yang berantah. Hanya satu penyelesaiannya: hapus dendam kesumat.
Aku mencintai Indonesia, tapi aku berjuang meraih mimpi di negeri orang. Dalam doa.
Perenungan panjang
Lalu kenapa Belanda? Bukankah kakek moyang kita diperkosa amat sadis oleh anggota KNIL? Tak percayakah aku dengan fakta bahwa banyak buruh dipaksa bekerja dengan judul besar Rodi?
Aku tidak berniat melacurkan diri kepada bangsa yang telah menginjak harga diri kita selama 350 tahun. Hitunglah jika setahun harta karun kita diambil 1 milyar. Banyak bukan? Tapi, kalkulasiku sebagai insinyur sipil tidak sekasar ahli ekonomi. Mereka memusingkan diri sendiri. Aku lebih jernih. Tak harus berpayah payah dengan otak bersungut sungut. Tujuan besarku ke Belanda adalah membawa misi santun, mencoba menjadi pengalir kebudayaan Nusantara ke Negeri Keju itu. Memang terkesan sembrono. Jujur leherku tak kuat menahan tebas kapak algojo hukum. Tapi misiku jelas: Membuka sejarah tanah air meskipun sedikit.
Selayaknya kita bersikap adil. Untuk apa menilai bangsa lain sampai ujung amarah jika mereka penjajah. Tak ada guna. Capai sendiri kita dibuat. Pandanganku menyelidik, bangsa yang besar jika ia memaafkan para penjajahnya. Penjajahan berawal dari sudut pandang. Jika masa lalu kita ambil sebagai refleksi, justru menjadi gizi baik bagi jaringan negara.
Miris mengikuti perkembangan negeriku tercinta. Tak tega dan menangis batin. Memang masih butuh waktu yang panjan. Energi yang besar dan tak putus napas. Agaknya sangat pantas jika kita mengakui kita sudah menjadi bangsa skizofrenia. Membuat negara sendiri, negara khayalan dengan trauma yang pekat. Ini tak ubahnya menjadi penjajah bagi diri sendiri. Kita terjebak oleh sebuah permainan rasa yang berantah. Hanya satu penyelesaiannya: hapus dendam kesumat.
Aku mencintai Indonesia, tapi aku berjuang meraih mimpi di negeri orang. Dalam doa.
Perenungan panjang
ditunggu oleh2 coklat nyaaa..
BalasHapusNtar kalo bener2 nyampe, kapan2 kita bisnis sepeda disana ya, Dis. Lumayan tapi menjajikan. Hidup kita!
BalasHapus