Tika Gadis Sering Mengejang (3)
Gadis itu bertambah parah. Menggila, tak mau bicara, dan tatap matanya tajam namun kosong. Hidup dalam ruang yang menekan, tak mampu ke luar, sendiri mencakari tubuhnya. Tika, membusuk tanpa ada yang mau membantunya.
Masa depannya hancur, justru oleh kedua orangtuanya sendiri. Mereka acuh, tak peduli, terlalu percaya Tangan Tuhan akan menyelesaikan kesehatan anak sulung mereka. Tenggelam dalam kesibukan memungut uang, orang tua itu berubah menjadi monster mengerikan. Hanya sebulan sekali menjenguk, beserta baju dan iming-iming yang menjemukan. Mereka bukan orangtua yang baik, mereka pencabut nyawa. Seburuk apapun keadaan keluarga, anak adalah tanggungjawab mereka. Seenaknya saja melepas hak Tika, biadab benar mereka, keji perlakuannya.
Kulihat, Tika mengejang amat parah. Buih ke luar dari mulutnya yang selama ini menutup. Ekspresi mukanya penuh derita yang terkumpul lama, cemburu oleh adik-adiknya, tak kasih sayang yang dia terima. Aku harus berbuat apa? Bukan siapa-siapa, hanya masukan konyol yang sering kulemparkan, setelahnya menguap tak berbekas. Aku lelah membantu, percuma saja.
Adakah ini kesalahan dokter yang terus memberi Tika obat-obat pereda rasa sakit? Benarkah pendapat orangtua Tika yang mempersalahkan para dokter? Bukan satu dokter, dua, mungkin lebih. Akumulasi obat yang salah? Aku tak begitu mengerti awal mula pengobatan yang diperoleh Tika. Kudengar pihak keluarga mempersalahkan dokter. Ah, aku tak tahu pasti.
Lantas aku berpikir. Mungkinkah kelainan jiwa yang diidap Tika? Jika benar, adakah seorang psikiater yang rela meluangkan waktunya untuk mengurai permasalahan Tika? Berharap mereka tak hanya melakukan tes psikologi bagi para calon karyawan sebuah perusahaan. Aku mempertanyakan, apakah psikiater ditakdirkan hanya untuk berpraktik di rumah sakit mewah? Jika iya, universitas telah melakukan kesalahan, tak termaafkan. Dalam bayanganku, ada satu psikiater berada di samping Tika. Tanpa pungutan biaya. Mungkinkah itu?
Satu ketakutanku, Tika akan bunuh diri atau telanjang bulat di pinggir jalan. Jika ini yang terjadi, keluarganya yang mendapat malu. Namun agaknya mereka sudah siap dengan akibat ini. Jangan, semoga tak pernah terjadi. Tika masih muda dan mempunyai masa depan yang sangat panjang. Tapi, apakah mungkin?
Hanya Allah yang tahu ....
Masa depannya hancur, justru oleh kedua orangtuanya sendiri. Mereka acuh, tak peduli, terlalu percaya Tangan Tuhan akan menyelesaikan kesehatan anak sulung mereka. Tenggelam dalam kesibukan memungut uang, orang tua itu berubah menjadi monster mengerikan. Hanya sebulan sekali menjenguk, beserta baju dan iming-iming yang menjemukan. Mereka bukan orangtua yang baik, mereka pencabut nyawa. Seburuk apapun keadaan keluarga, anak adalah tanggungjawab mereka. Seenaknya saja melepas hak Tika, biadab benar mereka, keji perlakuannya.
Kulihat, Tika mengejang amat parah. Buih ke luar dari mulutnya yang selama ini menutup. Ekspresi mukanya penuh derita yang terkumpul lama, cemburu oleh adik-adiknya, tak kasih sayang yang dia terima. Aku harus berbuat apa? Bukan siapa-siapa, hanya masukan konyol yang sering kulemparkan, setelahnya menguap tak berbekas. Aku lelah membantu, percuma saja.
Adakah ini kesalahan dokter yang terus memberi Tika obat-obat pereda rasa sakit? Benarkah pendapat orangtua Tika yang mempersalahkan para dokter? Bukan satu dokter, dua, mungkin lebih. Akumulasi obat yang salah? Aku tak begitu mengerti awal mula pengobatan yang diperoleh Tika. Kudengar pihak keluarga mempersalahkan dokter. Ah, aku tak tahu pasti.
Lantas aku berpikir. Mungkinkah kelainan jiwa yang diidap Tika? Jika benar, adakah seorang psikiater yang rela meluangkan waktunya untuk mengurai permasalahan Tika? Berharap mereka tak hanya melakukan tes psikologi bagi para calon karyawan sebuah perusahaan. Aku mempertanyakan, apakah psikiater ditakdirkan hanya untuk berpraktik di rumah sakit mewah? Jika iya, universitas telah melakukan kesalahan, tak termaafkan. Dalam bayanganku, ada satu psikiater berada di samping Tika. Tanpa pungutan biaya. Mungkinkah itu?
Satu ketakutanku, Tika akan bunuh diri atau telanjang bulat di pinggir jalan. Jika ini yang terjadi, keluarganya yang mendapat malu. Namun agaknya mereka sudah siap dengan akibat ini. Jangan, semoga tak pernah terjadi. Tika masih muda dan mempunyai masa depan yang sangat panjang. Tapi, apakah mungkin?
Hanya Allah yang tahu ....
Post a Comment