Menyoal Keampuhan Konsep “Mengikat Makna” (Sebuah Kritik Sopan dan Lembut)
Namun ada yang tertinggal dalam hal ini. Konsep seperti itu agaknya menjadi konsep yang hanya berada di permukaan. Seakan tak mampu membuat gebrakan yang bisa memerangahkan mata dan hati insan Rindunesia. Ya, hati adalah jawabannya. Penggagas konsep ini kurang menyasar penggunaan “hati” agar proses belajar mengajar berlangsung optimal.
Umpamakan Anda seorang buta. Apa yang dapat Anda lihat? Tak ada bukan? Tapi orang buta akan terasah hatinya untuk melihat keadaan sekitarnya. Dengan hatinya dia akan menerobos kegelapan yang selama ini melingkupi dirinya.
Buku sebagai asupan bergizi otak.
Tafakur dengan membacanya.
Mengolahnya di otak. Dan pengikatan makna berhenti di sini.
Seharusnya makna itu dialirkan oleh darah menuju hati.
Hati ini akan menyaring semua informasi yang telah diolah di otak. Menimbang, memerhatikan, dan memproses lebih lanjut hingga menghasilkan sari-sari pemikiran.
Sari-sari pemikiran ini sangat penting agar membaca-menulis tidak hanya berhenti di titik membuat karya standar. Yang ujungnya mengukur sebuah karya dari sisi material saja. Ini menjadi sebuah tamparan keras bagi para pemikir kemajuan bangsa. Jadi bisa dipastikan bahwa konsep “mengikat makna” kurang begitu memikat dan anti-produktif.
Maka ada sebuah tawaran bagaimana menciptakan proses membaca-menulis tak sekadar mengikat makna. Tapi “Menerobos Kegelapan”. Ya, inilah konsep baru tersebut.
Buta pengetahuan, meraba-raba dengan membaca, merasakan jenis benda itu di otak, menyalurkan dan merekamnya di hati, lalu berusaha menunjukkan bahwa buta bukanlah halangan untuk berkarya indah. Kegelapan itu hanya ada di pikiran kita. Oleh karena itu, konsep “Menerobos Kegelapan” bisa menjadi alternatif. Setujukah Anda?
Post a Comment