Drunken Monster
Masih tersisa satu jam sebelum pertandingan. Dia terus memusatkan pikirannya hingga konsentrasinya memuncak. Tak ada jalan lain, dia harus mengumpulkan serpihan semangatnya yang mulai memburuk. Melepaskan semua ketakutannya. Tangan pendekar itu refleks bergerak mengikuti pusatan pikirannya. Membentuk putaran yang terus berulang seolah memanggil tenaga dari para leluhur. Peluh bercucuran dengan mata tertutup yang bergerak-gerak. Ruhnya kini telah berada di sebuah dimensi tak terbayangkan. Menyatu dengan leluhur yang kelak membantunya menjatuhkan lawan beratnya di pertandingan paling menentukan. Perebutan gelar pendekar tersohor di seluruh negeri.
“Oh leluhur bantu kami meneruskan kebanggaan generasi kita.” Oceh si pendekar itu.
Tangannya masih terus bergerak-gerak, kali ini seperti mendorong sesuatu yang amat berat, juga gerakan menarik yang sungguh cepat. Dia pun melakukan gerakan menyembah, ditutup lenguhan keras mendengking.
“Uhhh ....”
Dia pun sadar kembali. Raut wajah yang sebelumnya pucat, sekarang mulai memerah karena aliran darah mulai mengalir ke sana. Senyum mengembang dari bibirnya yang merah, diikuti gerak menggeleng kepala ke arah kanan. Gemerutuknya terdengar dari orang yang berjarak lima meter atau lebih sedikit.
“Terima kasih, Dewa Bumi, Dewa Langit dan para leluhur. Semoga aku memenangi kejuaraan ini. Hidupku dipertaruhkan pada pertarungan ini, dan aku akan menegakkan kembali kehormatan keluargaku. Kejayaan Dinasti Ming.”
Angin berembus ke dalam ruangan yang didominasi warna merah. Hiasan huruf Mandarin di dinding bergerak-gerak, maju mundur seolah mengiyakan apa yang diharapkan sang pendekar. Rambut hitamnya juga tak lepas dari sentuhan sang angin, menyentuhnya seraya menularkan energi keabadiaan angin pertama di musim semi. Semangat pendekar itu menyala-nyala karena tahu alam telah menyetujuinya. Dia pun menjejakkan kaki ke lantai sebanyak dua kali, kanan dan kiri, sembari meninjukan tangannya ke langit.
“Cap Cay!”
Perban pendekar itu dilepaskannya, dibuangnya di sisi dia berdiri. Cucuran darah telah menghilang, terisap oleh semangat sang pendekar yang kembali membahana. Dirapatkan ikat pinggangnya, sembari memeriksa baju kebanggaannya. Dia pun mantap melangkah, ke luar dari kamar meditasinya. Bersiap mempertaruhkan nyawa demi kebanggaan keluarganya.
Post a Comment