Header Ads

Tetralogi Laskar Mejikuhibiu (Kisah Inspiratif tentang Perjuangan Narapidana nan Mengharukan Hingga Meneteskan Air Mata)

Remaja tanggung terbujur kaku di dalam sel penjara. Menatap terali besi di depannya. Kepala yang disangga oleh sebuah bantal apak, dia terus menatap besi-besi yang juga pintu-pintu angkuh. Ingin dia menembusnya, tapi waktu merantai tangan dan kakinya. Juga hatinya. Hanya satu mimpi dalam hidupnya, kemerdekaan tubuh. Juga kebebasan hati.

            Rasa penyesalan itu masih saja timbul dan tenggelam, meskipun sang pengetuk palu keadilan telah mengganjarnya dengan sebuah hukuman. Tetesan darah di sela paha gadis yang diperkosanya terus mengusik pikirannya. Membuatnya berpikir apa yang dilakukannya terhadap gadis tak bernyawa setelah digagahinya. Menyumpali mulut yang sudah tak sanggup lagi menerima siksaan fisik dan batin. Jeritan yang memekikkan telinganya masih terngiang dan membekas di benaknya. Apa yang harus dilakukan untuk membayar semua kebejatan yang telah dia lakukan terhadap gadis itu. Sementara nyawa gadis itu sudah tak bersatu dalam tubuh, dan tubuhnya telah membusuk di dalam tanah. Hanya penyesalan dan penyesalan yang tiada tara.

            “Andai saja aku membiarkannya untuk terus hidup. Bila saja aku mengawininya. Walaupun dia sudah tak gadis lagi. Asal tanganku tak membunuhnya.” Sering kali ucapan itu diucapkannya dalam remang ruang sesal bernama bui.

            Digariskannya sebuah coretan tegak di dinding dengan menggunakan kuku jari telunjuknya, menandakan satu hari telah dia lampaui. Baru sebulan dia mendekam di ruangan itu. Masih panjang waktu yang harus dia lalui, dan bayangan akan linangan air mata ibu di rumah terus membuatnya makin tenggelam dalam rasa sesal. Menyesal telah membunuh.

            Tiba-tiba, air di pelupuk matanya turun. Dia bisa merasakan dingin air itu di pipinya, dan sensasi yang selama ini tak pernah dia dapatkan menjadi sebuah kepuasan batin baru selain membunuh dan memperkosa. Tak pernah dia menangis sepanjang hidupnya. Sebuah kecengengan yang hanya pantas dilakukan oleh perempuan. Menangis berarti dia telah merubah dunia lelaki yang keras. Tempaan hidup yang brutal telah membuat hatinya seakan tak tertembus oleh sebuah kelembutan.

            “Tuhan ... Tuh ... han ....”

            Mulutnya kali ini mengucapkan sebuah kata yang juga tak pernah diluncurkan dari mulutnya. Mulut yang hanya mengenal umpatan, celaan, enaknya ganja, dan gairah alkohol. Entah siapa yang berbisik di telinganya hingga dia rela melepaskan kata langka itu. Tuhan, kata apakah itu? Sebuah materikah, suatu kesenangan duniawikah, ataukah sebuah alasan seseorang untuk berkeluh kesah?

            Sebentar, dia teringat masa kecilnya. Dalam keadaan setengah tersadar, antara tidur dan terbangun, sayup-mayup kala itu dia mendengar ibunya mengucapkan nama Tuhan. Tangan menengadah, linangan air mata, dan posisi duduk bersila. Dua dari hal itu, dia alami saat ini. Menangis dan mengucap kata Tuhan. Sungguh saat ini dia mengingat ibu kandungnya. Sedang apakah dia?

        Patroli sipir sudah dimulai. Bunyi tongkat pemukul di antara terali tiap sel membahana. Kayu yang bersinggungan dengan besi membuat hati para narapidana miris. Kayu itu tak ubahnya besi yang mengurung mereka. Sewaktu-waktu hantaman para sipir dengan kayu hitam itu mampu meretakkan tulang pipi, iga, tulang belakang, atau tulang kemaluan mereka. Para narapidana mengerut dan terpaksa berpura-pura tidur. Sebuah gerakan berarti umpatan akan ke luar dari sipir berkumis lebat dengan topi sedikit miring. Jangan sampai mereka mempunyai urusan sedikit pun dengan sipir satu ini. Rumor yang berkembang di seluruh areal mengatakan bahwa sipir tak segan melakukan tindakan asusila untuk membuat narapidana jera. Tak jelas apa yang telah mereka dapat dari si sipir. Yang pasti para narapidana akan jera berurusan dengannya. Dan pilihan cuma satu, diam dan tanpa bersuara. Bungkam dan tak berhak berbicara.

            Gerak langkah kaki si sipir terdengar mencekam. Suara dehaman juga menyelingi setiap gerakan naik-turun pantatnya yang sebesar kuda nil. Tak terpancar senyum, dingin dan misterius. Tak percaya akan gunjingan yang berkembang, narapidana berbaju orange yang baru saja merasakan air mata dan hangatnya kata Tuhan, memperhatikan dari terali sang sipir yang sebentar lagi berada di depan selnya.

            “Kenapa kau tak tidur? Sekarang jam istirahat.” Bentak si sipir.

            “Saya belum bisa tidur, Pak. Maukah Bapak menemani saya untuk mengobrol?”

            “Benar-benar narapidana aneh. Apa kau tak takut padaku? Apa kau tak pernah dengar gosip di seluruh sel ini; barang siapa dekat dengan penjaga sel maka dia akan diperkosa. Tak takutkah kau padaku? Seorang sipir yang buas tanpa perikemanusiaan!”

            “Saya tak pernah percaya ucapan mereka, Pak. Kenapa saya harus percaya pada sebuah hal yang tak pasti. Saya masuk ke sini juga karena korban ketidakpastian berita, saya terlalu percaya hasutan teman untuk menikmati seorang gadis. Dan saya membunuh gadis itu setelah memperkosanya!”

            “Ah, bualan ajaib anak sel baru. Apakah kau juga masih belum percaya, bahwa semua penghuni sel ini telah aku nodai, aku runtuhkan kehormatan mereka. Dan semua orang pasti akan tunduk kepadaku. Masihkah kau tak gentar?”

            “Buat apa saya gentar, Pak. Saat ini yang membuat gentar adalah bayangan dan teriakan gadis yang saya perkosa. Dia pasti menangis di alam kubur sana.”

            “Romantis tak jelas arah. Baiklah, Anak Muda. Aku mau mengobrol denganmu. Tapi bukan berarti kau bisa menyogokku untuk bisa kabur dari sini. Jangan harap aku mau kau peras dengan rayuanmu, dengan uangmu, dengan suapmu!”

            “Tenang, Pak Sipir. Kesalahan terbesarku adalah membunuh, dan itu karena saya tak mampu menahan konakku. Tapi untuk menyuap dan membohongi orang, saya tak mampu.”

            “Aku tetap berjaga-jaga dengan mulut manismu, Lelaki Aduhai.”

            Tak begitu jelas apakah hati bisa melentur oleh mulut yang tertata rapi. Apakah mulut yang teratur mampu membelokkan hati yang lurus. Atau bisa saja sebaliknya? Lalu apakah seorang yang mengaku pengemban keadilan rakyat, yang teratur dalam bertutur, bisa mengelabuhi hati rakyatnya yang tak tahu apa-apa. Memanfaatkan ketidaktahuan itu demi kemenangannya. Dan aksi itu setidaknya sedikit banyak terjadi pada pertemuan perdana sang sipir dan narapidan pemerkosa. Rumor yang berkembang bisa jadi tidak terbukti, si sipir belum tentu monster pemakan narapidana yang dijaganya. Juga mulut manis yang dipertontonkan seorang narapidana berarti selalu sebuah kebohongan. Semua tak lebih suatu pertunjukkan yang penonton setianya belum mengetahui akhir ceritanya.

            Sang sipir lalu duduk di sisi luar terali, sementara narapidana duduk mengikuti di sisi dalam bui. Dan komunikasi itu tengah berjalan.

 

 

 

 

Tidak ada komentar