Dalam Persimpangan Mode
Beberapa meter di sebuah gang dekat muda-mudi yang tertawa lebar itu, duduklah dua anak kecil. Baju mereka compang-camping, terlihat hitam kucal menandakan bahwa mereka tak pernah memedulikan penampilan mereka. Mereka tak pernah mengenal kata simbol moderenitas, deterjen apalagi mode. Dua anak yang ternyata seorang gadis kecil dan laki-laki yang berpostur sedikit lebih besar mengais-ngais sebuah kaleng. Dari jarak amat dekat, kaleng itu ternyata berisi makanan basi yang dikumpulkan mereka dari bak sampah di belakang restoran mewah.
Muda-mudi yang berjumlah lima orang, dua lelaki dan tiga perempuan, kali ini memasuki sebuah toko mainan elektronik. Dicoba satu per satu mainan di dalam toko tersebut, diiringi masih dengan tertawa lepas mereka. Tak perlu menutup mulut kala melepaskan emosi, mereka melonglong seakan menunjukkan kekuatannya kepada dunia.
Sebaliknya, dua anak kecil di lorong sempit gelap di dekat muda-mudi tadi juga melonglong. Tapi longlongan mereka bukan pelampiasan rasa senang, tapi mempertontonkan penderitaan mereka. Perihnya perut saat lapar, kelajuan berpikir yang terhambat oleh kondisi diri, dan penderitaan karena tak memiliki orang tua maupun rumah. Dua anak kecil itu tertunduk lesu.
Dari dalam toko mainan, muda-mudi penuh gaya itu ke luar dengan menjinjing bungkusan-bungkusan berlabelkan merek terkenal. Kali ini mereka tertawa semakin nyaring. Mereka terus menyusuri Jalan Pandang Layang, mengamati dan berharap ada toko lain yang bersedia menjadi tempat bersedekah bagi mereka. Berjinjit, melonjak, kadang langkah mereka diseret dengan sengaja.
Tanpa sengaja salah seorang dari mereka, tali sepatunya lepas. Dia pun berjongkok untuk membenarkan tali sepatunya. Sayup-mayup, dia mendengar suara lirih. Dia menoleh ke kiri, ada bayangan yang mengganggunya. Dua anak kecil itu memandangnya. Memelototkan kesengsaraan kepada gadis dengan tali sepatunya yang belum sempurna. Keempat muda-mudi lainnya menepuk bahu gadis itu. Dia pun terlupakan oleh bayangan yang sempat menyingkap kesombongannya. Lalu kedua anak kecil pun kembali ke dalam kehidupan seperti biasa. Tanpa teman, saudara, atau pun orang-orang yang dibutuhkan mereka.
Post a Comment