Bandung, Kuinjakkan Kakiku untuk Pertama Kalinya! (Kedua)
INJAKAN AWAL
Bandung, setengah enam pagi
“Aa, teteh, eneng, kereta telah sampai Bandung, bangun!”, teriak sang penjaja makanan. Logat kental bumi Parahiyangan terucap dari bibir mereka. Badan yang terbuai mimpi dikejar anjing kurap semalaman secara otomatis tersulut memperhatikannya. Bumi telah dibuka kembali panggungnya dan menanti tangan-tangan kreatif menyemarakkannya. Mendung bergelayut di atas awan, udara basah dengan uap air dan derap langkah kaki para siswa mengiringi jejakan pertamaku di Bandung. Ada perasaan lega dan sedikit harapan memasuki kota yang terkenal dengan sejuta penganan dan gadis moleknya.
Aku mengirim pesan elektronik lewat telepon genggam yang semalam aku simpan rapat-rapat di dalam tas karena takut dilirik oleh penjahat kelas teri. Kulempar kata-kata kepada Dhani bahwa aku selamat sampai di Bandung untuk memohon dijemput di stasiun. Balasannya tak sampai 3 menit terkirim balik darinya, tapi dia berujar barang 15 menit aku harus menunggu di depan tugu lokomotif stasiun. Aku tata rapi rambutku, kutarik-tarik bajuku, jangan sampai terlihat seperti pengamen ataupun pengemis. Tak ketinggalan juga wajah jangan sampai terkesan culun, linglung atau cemas, bisa-bisa aku dipecundangi layaknya bocah ingusan ditipu berandalan tengik. Aku tetap waspada.
Deringan telepon menggema merusak lamunan biruku. Dhani menanyakan posisiku dan aku serta merta menjawab di dekat toilet stasiun. Wah, selalu dan pasti, akibat bercumbu dengan suasana WC kereta semalam, aku jadi sangat bersahabat dengannya. Tak ada dalam skenario, itu benar-benar terjadi tanpa efek samping. Dhani manusia ikan, eh..bukan Dhani –sebenar-benarnya- mengajakku makan bubur ayam di depan stasiun dan akupun menyanggupi tawarannya. Katanya setiap datang ke Bandung entah selepas bepergian ke negeri manapun, ia sempatkan untuk mengunjungi sang abang penjual bubur ayam itu.
“Bang, dua mangkok ya!”, perintahku tulus. Medog benar bahasaku dengan keJawaanku. Dia balik bertanya kepada kami rasa pedaskah yang dimaksud. Si Dhani buru-buru menimpali, “Sedikit pedas saja, Ak!”. Oiya, ternyata untuk menyebut sang lelaki yang lebih tua di sini adalah Aa’, kemudian aku meresapkan kata itu ke dalam otak dan hatiku. Seperti pepatah kuno, “Langit dijunjung bumi dipijak” menjadi resep ampuh memahami budaya setempat walaupun rencana cuma 2 hari.
Jika dirasakan dan dibandingkan dengan gembar-gembor masyarakat bahwa Bandung adalah surga makanan, agaknya masih butuh telusuran lebih. Rasa bubur ayam di tanganku masih belum cocok dengan lidahku. Asin sekali! Berbeda sekali dengan makanan Yogya yang super manis. Lantas aku meminta tambahan kecap manis kepada sang penjual. Kukocok ringan naik turun hingga lumuran cairan kental memasuki mangkok bubur. Lumayan sebagai penyeimbang selera manisku dengan masakan sunda yang kutebak asin dan pedas. “Mungkin belum terbiasa saja, Ndhy!”, celoteh si Dhani.
Kami meneruskan perjalanan langsung menuju Cisaranteun dimana lokasi tes berlangsung esok hari. Si Dhani masih belum begitu akrab dengan daerah tersebut, tapi dia mencoba menyusuri jalanan mencari ingat dulu pernah melewatinya. Sepanjang jalan dia bercerita macam-macam tentang Bandung, aku mendengarkan dan kadang kuselipkan pertanyaan mencari tahu lebih seperti apa kota ini. Kelihatan Dhani begitu akrab dengan jalanan Bandung, setelah kutanyakan memang pekerjaan dia sering memutari Bandung mencari berbagai macam data.
Sungguh aku tak menyangka diberi keberkahan untuk sekedar tes di Bandung. Terlihat aneh jika ditelisik, sebagian besar temanku bekerja di Jakarta dan hampir nihil kenalanku di kota kembang. Aku mengenal Dhani berawal dari Blog, lalu mendapatkan informasi pekerjaan juga dari Blog. Jadi berfikir kalau rezeki memang bersumber dari setiap sisi sekitar kita yang tak akan pernah menyangkanya. Semua terangkai dengan indahnya tanpa pernah aku sadari sebelumnya. Dhani yang baru belajar bijak mengatakan Tuhan mengutus kita ke suatu tempat pasti ada tujuannya. Nah, kita yang berhak untuk mengira-iranya.
Tiba pula kami di daerah Cisaranteun Kulon, namun kami baru menuju daerah Wetan. Lalu kami memutar mencari lokasi dimaksud. Setting daerah pedesaan dengan hawa dingin sempat meragukan hatiku apakah penerbit yang kukunjungi besar tapi mengapa berada di desa. Kami mempermudah pencarian dengan bertanya kepada seorang bapak yang duduk merokok di warung makan. “Lurus terus sekitar 200 meter lagi”, ucap sang bapak bersahabat. Ternyata jalan kami benar, cuma masih butuh kesabaran lebih walau kami yakin jalan kami memutar.
Jalan yang belum sepenuhnya teraspal, berkerikil diselingi genangan air bekas hujan semalam seakan menjadi saksi pencarian kami. Tepat di depan kami terbujur tulisan M besar sekali terpampang di sebuah gedung tinggi. Dugaan awalku melenceng sejauh 179 derajat ketika melihat keadaan sesungguhnya. “Besar sekali ya!”, bengongku. Dhani menginformasikan bahwa M merupakan kompetitor penerbit G di Bandung, tepatnya sebuah penerbit alternatif yang menawarkan warna lain dalam dunia pertulisan. Kebanggaanku menyembul jika mengingat proses belajar menulisku baru beberapa bulan dan mulai diperhitungkan dengan isi tulisanku. Ah, jadi sombong..
Kami tanyakan kepada satpam di depan kantor M, dan ia membenarkan alamat yang tertera di sampul surat undangan tes wawancara. Setelah puas menemukan lokasi tes, kamipun beranjak mencari hotel tempat aku akan beristirahat sejenak. Kembali ke Bandung kota….
puanjaaaaang banget ceritanya sepanjang kereta yang berhenti terlalu lama. Welkom to da jungle bro! Mpe ketemu di Bandung euy!
BalasHapusmasih ada cerita selanjutnya kok...hehehe...selalu saja simak Blog ini ya, please! Ntar jemputnya di stasiun Bandung jangan di dekat WC lagi ya, Trauma je....
BalasHapusSelamat ya...akhirnya nyampe bandung jg n bekerja sesuai minat n bakat kmu, klo mang ini yg menjadi keputusan terbaik kmu, Fokus ya!! Ok sukses buat kamu. Jangan lupa tetep nulis disini meski kmu dah jadi penulis. oia... klo kmu dah bikin buku sendiri, kirim ke balikpapan ya...Take care Friend! Wish u Luck... :)
BalasHapusTerima kasih...ini juga jalan karenamu juga. Kamu ada andill juga. Thanks ya...Ya ntar aku kirim buku editan ato buku karanganku. Tunggu saja
BalasHapus