Header Ads

LEBARAN TANPA IBU

Lebaran tanpa ibu di hadapan saya. Tahun ini, saya tak bisa pulang untuk sungkem, memohon mohon maaf sembari sesenggukan, dan bersama makan masakan ibu bareng bapak dan adik adik. Sekarang, tugas besar saya emban karena ada sang pendamping saya yang tengah mengandung anak saya. Ketidakpulangan saya karena kesehatan sang jabang bayi lebih penting.Tak ingin saya dan istri kehilangan bayi setelah keguguran yang menyakitkan pada Maret lalu.

'Ibu, mas ndak bisa pulang, ya. Maafkan mas kalau ada salah!' ucap saya dari ujung telepon.

Ibu terdiam sejenak. Sayup saya mendengar isakannya yang berarti ia ingin saya hadir bersamanya di malam takbiran ini. Namun saya mengalihkan perhatiannya jika sebentar lagi ia punya cucu yang berdarah berbeda dengannya. Tidak Jawa murni melainkan bercampur suku Sunda yang lembut itu. Ibu sumringah, bergelak lagi dengan suara khasnya yang mendentum jantung saya.

'Segeralah ke sini, Bu!' pinta saya.

'Pasti, Nang.' Ibu selalu memanggil saya dengan kata Nang yaitu anak lanang atau lelaki. 'Di hari kelahiran cucuku!'

Takbir berkumandang kuat bersama pukulan bedug anak anak yang mengelilingi perum tempat saya tinggal. Saya mengucap salam perpisahan pada ibu, menutup telepon, lalu pergi ke WC. Keran saya buka, air mengucur deras, dan saya jongkok untuk menahan tangis yang menekan nekan dada tanpa sepengetahuan istri saya.

'Bu, saya kangen!' rintih saya pelan.

***


Tidak ada komentar