Header Ads

KAOS atau KEMEJA?


Debat tentang mahasiswa boleh berkaos atau haram, saya menyadarinya sudah berlangsung lama. Bagi dosen yang mempersilakan mahasiswanya berkaos, alasannya paling penting otak bukan penampilan. Pengajar yang tak memperkenankan mahasiswanya berkaos punya alasan soal kesopanan khas Timur. Dua duanya sahih! Biarkan masing masing dosen mempertanggungjawabkan pilihannya di hadapan Tuhannya. Tuntas bahasan.

'Ngomong ngomong, Pak Danie condong ke mana?' tanya hati saya sendiri.

Saya? Betulan kamu menanyakan sikap saya tentang berpakaian mahasiswa, Hati? Nanti kalau saya berpendapat, kau bilang saya mempersulit pergerakan mahasiswa? Saya mengekang kreativitas mahasiswa?

'Nggak. Cuma pengin tahu, sih, Pak Danie ....'

Baik kalau begitu. Saya lebih menyukai mahasiswa berpakaian rapih seperti karyawan kantoran. Itu berarti saya tak menerima mahasiswa berkaos oblong! Betulan nih masih mau saya meneruskan pendapat saya? Jangan nilai saya sebagai dosen diktator, ya! Saya selalu memberi alasan dari segala pilihan saya.

'He em, Pak Danie. Mangga dilanjutkan!'

'Sebentar.' saya memejamkan mata, memanggil memori saya semasa kuliah di UGM.

***

Sebetulnya di UGM khususnya di jurusan teknik sipil tak ada perdebatan tentang perkaosan itu. Sejak saya masuk, semua mahasiswa tak diperbolehkan mengenakan kaos oblong dan bersandal jepit. Kalau pakai kaos berkerah, boleh saja. Ciamiknya pakai kemeja. Tak ada alasan yang pihak kampus berikan ke mahasiswa. Budaya itu berjalan dalam penerimaan taat. Sampai sekarang, saya tak terbiasa memakai kaos dalam kegiatan resmi apapun. Harus memakai kemeja.

Takdirlah yang mempertemukan saya dengan pertanyaan soal boleh tidaknya pakai kaos oblong di kampus. Sebagai dosen baru, saya jujur merasa risih dengan hilir mudik mahasiswa pada jam efektif kampus memakai kaos.

'Ini benar di kampus atau mal?' pikir saya.

Kaos bukan pakaian resmi. Itu buat main atau jalan jalan bahkan naik gunung! Kampus tempat menuntut ilmu yang membutuhkan keseriusan. Kaos berarti selengekan.

'Besok lagi jangan pakai kaos, ya!' ucap saya pada seorang mahasiswa di kampus baru saya di sini.

Dia membalas, 'Kenapa, Pak?'

Warna suaranya tak menunjukkan dia melawan saya malah terdengar ia meminta penjelasan. Saya memberi pengertian jika kita tengah mempersiapkan diri ke dunia kerja. Ketika kita mendaftar dan melakukan tes kerja, berbusana ialah salah satu aspek penilaian perusahaan. Apakah kita akan diterima sebagai karyawan jika kesan pertamanya memakai kaos? Sepengalaman saya, meminang pekerjaan selalu dituntut rapih dan keren. Kemejalah pilihan tepatnya.

'Oh, begitu, Pak!' jawab si mahasiswa.

'Itu saja permintaan saya di kelas. Tidak boleh pakai kaos oblong, berkerah silakan. Kemeja lebih sip!'

Sebenarnya, itu trik saya merendahkan diri agar mahasiswa manut pada saya. Permintaan saya tidak cuma tidak berkaos dan bersandal jepit. Segera berentetan instruksi menggugah batin lain demi kebaikan bersama.

'Ada alasan lain!' kata saya ke mahasiswa.

'Apa itu, Pak?' tanyanya.

'Dengan memakai kaos berkerah atau kemeja, saya bisa sewaktu waktu mengecek apakah laundry pilihan kalian bersih menyikat kerah pakaianmu. Kalau tidak, beralihlah mencucinya sendiri di kos. Lebih hemat dan mengajarimu prihatin.'

'Baik, Pak. Terima kasih.'


Tidak ada komentar