Header Ads

BERSAMA HAFIZ (1)


Senja makin dekat, saya memacu Vario ke warung makan Mamih Cucu langganan saya. Katanya, ada menu menarik yang siap saya bantai melampiaskan lapar saya akibat berpuasa. Masakan Mamih Cucu yang asli Ciamis cocok di lidah Jawa saya yang selama ini tersiksa karena adaptasi masakan Tasik. Buka puasa nanti bakso daging urat, info Mamih.

Tasik ramai dengan orang orang yang ngabuburit. Di perempatan Cilolohan dekat kontrakan saya, motor motor saling bersapa dengan wajah wajah pemiliknya sumringah. Di kanan kiri jalan menuju warung Mamih Cicih, penjual takjil menjajakan kolak, koktail, gorengan, dan aneka kemeriahan lain. Hati saya bungah merasai nyawa Ramadan di kota santri ini.

***

Sekejap saya melihat keramaian di kiri jalan di sebuah masjid yang bernama At Tajdid. Entah artinya apa, saya belum bertanya atau mencarinya di kamus Arab-Indonesia. Sebelum Ramadan, saya sering melewati masjid ini dan tak tergerak menyambanginya. Tanah lapang luas di depan masjid seolah memberi jarak keengganan saya. Saya bablas saja biasanya, cuek tak kepincut.

Kini, bocah bocah di pelataran masjid lah yang menarik diri saya bertandang ke masjid At Tajdid. Mereka duduk tenang dan rapih bersama para lelaki dewasa berbaju muslim dengan kepalanya berikat seperti Pangeran Dipanegara Yang termahsyur itu. Mereka menanti beduk Magrib dengan takjil berada di hadapan mereka.

'Baso daging ntar saja!' seru saya. 'Kita coba takjil Tasik kaya apa.'

Vario saya arahkan ke masjid At Tajdid, beberapa santri melihat saya melempar senyum, selebihnya sibuk menata takjil di alas plastik. Turun dan mengunci motor, saya menguluk salam pada para santri.

'Assalamualaikum!' ucap saya.

Mereka menyambut dengan hangat. Aura keakraban mereka berikan pada saya yang tak berpeci dan berpakaian a la kadarnya.

'Waalaikum salam.' jawab mereka.


Tidak ada komentar