Header Ads

BUBUR AYAM TASIK


Lama lama blog ini berubah pangkalan kuliner. Otak saya sepertinya mengalami degradasi, daya imajinasi bocor, yang ada hanya keinginan memajang panganan yang saya santap. Sudah kecerdasan menguap, perut mulai membuncit. Ohhh, apakah ini petaka?

Tidak! Kebetulan saja sekarang lagi demen menulis makanan. Ketimbang majang kekayaan; mobil, rumah gedong, baju mahal? Kalau saya menyuguhkan foto dan reviu santapan, tidak hanya saya yang puas tetapi kuliner Nusantara juga dapat untungnya. Jika seluruh manusia Indonesia kompak mencuit cuit masakan negeri sendiri secara kontinu, wah bisa gulung tikar itu KFC dan sebangsa gaibnya! Amin ....

Tentang bubur ayam. Hayam kalau orang Sunda bilang. Di Jawa, saya biasa makan bubur ayam dengan cita rasa manis. Sekarang, lidah saya seperti kesetrum. Bubur hayam Tasiknya asin .... Seperti berada di lautan, samudera dengan airnya asin abadi. Kepala senut senut kalau begini. Ampun dong.

Sebetulnya, lidah asli saya asin pedas. Orang Grobogan kurang mengenal masakan manis. Berhubung saya lama di Jogja yang segala makananannya berasa manis bak kolak Ramadan, lidah saya pindah ke aliran kesultanan DIY. Hanya manis yang kami rasakan. Nah, sekarang saya di Tasikmalaya yang masakannya asin dan pedas. Pedasnya melebihi Grobogan negeri asal saya. Lidah dan perut masih bergejolak tiada tara. Mulas dan mencret silih berganti.

Saya sadar jika adaptasi paling berat ketika pindah tanah rantau yaitu makanannya. Kembali saya pada posisi ini. Jika sudah terbiasa, cincay segalanya ....

Akan tetapi, bubur hayam Bojong di Jalan Mitra Batik Tasikmalaya sudah mulai bisa saya nikmati kelezatannya. Hanya dengan enam ribu rupiah, sarapan beres! Kata ahli gizi, sarapanlah maka kau akan cerdas! Benar begitu?

Tidak ada komentar