Header Ads

SERVIS JAM TANGAN yang AMSIONG

Pamor Ahok sekarang menjulang hebat. Demonstrasi penolakannya oleh FPI malah bikin Ahok makin moncer. Naik Gubernur Jakarta, nah inilah momen para Tionghoa andil dalam pemerintahan. Kini tak ada ketakutan lagi bagi suku berkulit kuning untuk berkarir melenceng dari zona nyaman bisnis mereka. Berani melanjutkan rintisan Ahok? 

Lain Ahok, berbeda cerita yang saya alami Sabtu pagi lalu menjelang Idul Adha. Seperti kita tahu, Tangerang banyak Tionghoa kan? Tapi asli kalau mereka bukan kaya moyang Tiongkoknya. Saya berani taruhan dengan kalian kalau sembilan puluh persen mereka tak bisa berbahasa Mandirin. Namun memang saya sekelebat waktu berpapasan mendengar kicauan bahasa Tiongkok itu. Kebanyakan para tua dan generasi mudanya lebih fasih berbahasa Indonesia yang "guwe elu". 

Biasanya, para Tionghoa menghabiskan akhir pekan mereka di mal. Makan bareng, main game, lihat lihat barang bagus dan kalau suka mereka membelinya, atau sekadar jalan jalan. Saya amati, para Tionghoa di Tangerang ini tidak gemar berpasar tradisional. Bisa jadi ini karena taraf ekonomi mereka yang tinggi atau pasar tradisionalnya kurang lengkap dan menarik. Tapi, saya selidik lagi, mereka akan gegap gempita kalau salah satu toko menawatkan diskon. Sama ternyata, ya! 

★★★

Jam tangan saya rusak mulai Jumat malam. Sama kaya kacamata, jam tangan mati rasanya kaya kehilangan nyawa. Apalagi kamar kos nggak ada jam dinding. Atau, saya kalungkan saja jam dinding ke leher saya, ya? Jam tangan sudah merasuk dalam relung hati saya karena itu kebiasaan yang ayah saya turunkan pada saya. 

'Kau tahu kenapa ayah mewajibkan kamu pakai jam tangan, Danie?' tanya ayah ketika itu saya berumur lima tahun. Saya ingat itu hari ulang tahun saya. 

Saya menggeleng namun batin bocah saya berkata agar saya anaknya tampak cakep di antara teman teman. 

'Karena kau bisa mengatur hidupmu dengan jam itu!' ayah menunjuki jam di tangan saya. Bagus banget jam kado ayah.
Sekarang saya berada di mal. Dari luar, hawa sejuk sudah terasa seperti di Kutub Utara. Saya pikir pikir, orang orang di sini waktu di kandungan Emanknya ngidam jalan jalan ke kutub. Atau malah pengin beremigrasi jadi manusia eskimo. Masuk mal dapat sambutan sekuriti yang minta izin saya meng-garret tas gendong saya. 

'Ndak usah minta izin sama saya, Pak. Saya ikhlas. Mau garret yang mana lagi?' ucap saya tanpa bermaksud melecehkan profesi satpam. 

Mal lumayan ramai. Para pembeli lalu lalang yang kebanyakan para Tionghoa. Dandanan mereka biasa saja kok nggak seperti yang satu teman saya bilang kalau orang Tionghoa terutama ceweknya kalau pakai baju terbuka ke mana mana. Ke mana mana bagaimana maksudnya, ya? Sopan kok! Ah, itu anggapan yang berlebihan ternyata. 

Tak ingin melantur beli ini dan itu, saya masuk ke toko jam. Hanya ada satu orang pembeli. Saya yang kedua. Tukang servisnya cewek, Tionghoa pula. Alamak, saya di Tangerang seperti tenggelam di jutaan manusia berkulit kuning bermata sipit. Si peservis tengah sibuk memperbaiki jam tangan milik si mbak berkerudung di samping saya. 

'Ini mesinnya rusak, Mbak. Musti diservis.' kata si Cici tukang servis. Ia mengibaskan rambut blondenya dan tersenyum memamerkan behel hijau mudanya. Si mbak berkerudung menyetujuinya. 'Mas mau apa?' 

'Oh, jam tangan saya rusak.' jawab saya. 

'Sejak kapan?'

'Sejak kucing saya menelannya menyangkanya ikan bandeng. Lalu dia memuntahkannya dan saya pungut. Ini saja belum saya lap jam tangannya.' 

Saya mengulurkan jam tangan saya dengan cicik tujang servisnya betubah raut mukanya. Karena ia Tionghoa, pastilah melayani pelanggannya dengan sebaik baiknya. 

'Ini musti diservis, Mas! Rusak mesinnya.' kata cicik usai mengutak atik jam saya. 

'LOH!,' seru saya. 'Jam tangan saya bukan sepaket dengan mbak ini lho. Kami tidak pacaran.'
Mbak berkerudung masih di toko melihat lihat jam dan pernak pernik lain. Untungnya ia tak marah sama saya. 

'Mau diservis?' Cicik bertanya. Ia tak meladeni lelucon saya. 

'Berapa ongkosnya, Cik?' tanya saya. 

'Empat ratus.'

Melompatlah hati saya karena ongkos servis lebih dari harga jam saya yang hanya tiga ratus. Mending beli baru dong, pikir saya. Si cicik memasang muka serius pada saya dan ingin saya cepat cepat mengiyakan tawarannya. 

'Nyicil boleh, Cik?' saya bertanya. 

'Mas, sampeyan ke Pak Ahok saja. Minta jadi asistennya. Nanti gajinya minta jam tangan saja.' si cicik marah. 

Pun saya minta permisi untuk mundur dari transaksi. Saya masuk ke toko jam lain di mal, si empunya bilang ongkos servis lebih mahal lagi. Saya salah memilih mal untuk membetulkan jam tangan deh. Dalam langkah gontai, saya menuju pasar dan saya menemukan toko jam tangan. Si koko pemiliknya memberi harga servis berapa kalau kalian pengin tahu? 

Lima puluh ribu rupiah saja! Pemilik tokonya Tionghoa cowok asal Pontianak. 
Oh, Tionghoa itu macam macam, ya?

Tidak ada komentar