ASINAN GAMES 2018

Berangkat kerja telat karena bangun kesiangan seperti dikejar iblis. Angkot yang biasanya bergerak santai seperti ingin saya sogok si sopirnya biar menginjak rem makin dalam. Bos sudah telpon berkali kali, tapi saya cueki dan sesampai kantor saya nanti beralasan inilah itulah tergantung nanti bibir ini meletuskan apa saja yang saya bisa. Terus saja saya berkomat kamit di dalam angkot supaya cepat sampai karena presentasi produk segera mulai. 

ASU!
Jam 8.35 ban angkot sebelah depan kanan meletus. Makin nggak karuan hati saya. Pengin banget saya kremus itu sopir kenapa tidak mengecek mobil hingga bannya sampai meledak. Saya sudah tidak jinak, ke luar dari angkot dalam gerutuan yang memuncak. Berdiri menyingkir, saya menunggu angkot lain melintas. Kutu loncat .... sepuluh menit saya menunggu, belum ada angkot! 

ALAMAT KENA SP, batin saya kesal. 

Jadwal presentasi jam sembilan sepertinya sudah tidak terkejar lagi. Pun hape sudah tak menyalak, mungkin bos marah total sama saya. Saya angkat tangan, menyerah oleh keadaan ini dan menyiapkan mental untuk kondisi kritis ini. Dalam langkah gontai, saya menuju warteg. Saya ingin membenamkan diri ke makanan. Nasi dua porsi saya pesan. 

REPORTER EDAN

Makan kali ini malah nikmat banget meski hati saya kacau. Warteg memang favorit saya karena tak harus keluar uang banyak tapi perut seperti penuh ibaratnya tidak makan tiga hari tidak akan mati. Sempat saya ingin mengambil gorengan yang warnyanya kuning keemasan namun hati saya berontak karena minyak untuk menggorengnya jahat. Itu kolesterol mematikan, begitu saya membatin. 

'Selamat pagi, Bapak!' seru seorang lelaki yang berpakaian seragam hitam. Ia duduk tanpa ragu di samping saya dan mengulurkan tangan pada saya. 

'Pagi.' jawab saya ala kadarnya dalam sisa suapan nasi warteg. 

'Mengganggu sebentar boleh, Bapak?' ia bertanya sambil mengeluarkan buku kecil dan bolpen. 

'Mengganggu sih. Gimana kalau saya tersedak karena Anda dan mati?' jawab saya jujur. Tinggal sesuap lagi nasi habis. 'Tapi okelah. Ada apa?'

Lelaki di samping saya menjelaskan jika dirinya seorang reporter majalah olahraga. Dan tugasnya pagi ini menyurvei pendapat orang tentang penetapan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018 setelah Vietnam mundur dengan alasan kehabisan dana.

"Santapan saya nih ...." saya berteriak di dalam hati. 

Sudah sejak lama saya bercita cita jadi Menpora. Bagi saya jabatan ini sangat hebat yang akan mampu menggerakkan generasi muda berkarya luar biasa untuk bangsa dan negara. Juga, saya menganggap menpora ialah jenis manusia selain herbivora, omnivora, dan karnivora. Sebentuk manusia langka yang akan menggemparkan dunia! 

'Bagaimana, bagaimana, Mas?' saya menyibak piring, meneguk air teh tawar, dan menggeser badan rada mendekat si mas reporter. 'Apa pertanyaan, Mas?"

'Eh, gimana tanggapan Bapak dengan rencana Asian Games empat tahun mendatang di negara kita?' tanya si mas reporter. 

Saya menarik napas dalam dalam, membusungkan dada, memberi kesan berwibawa di samping sang reporter. Eh, siapa tahu pendapat saya masuk surat kabar dan jadi pembicaraan hangat makhluk di seluruh negeri dan saya populer. Apa nggak cincay itu?

Tanggapan saya seperti ini: 

Sebenarnya, saya pengin memprotes kenapa ini dinamakan Asia. Kaya Asinan saja! Tapi itu kayanya terlalu berlebihan hingga ide ini saya abaikan saja. Penyelenggaraan Asinan Games, begitu saja ya saya lebih nyaman bilang begitu, ada positip dan negatipnya. Positipnya, harga diri kita sebagai bangsa naik. Kita semakin dikenal dunia. Ekonomi kita sudah berada pada level atas, tak ada salahnya kan kalau kita pamer kekuatan? 

'Negatipnya, Bapak?' tanya mas reporter. 

Jawab saya, 'Banyak. Banyak sekali. Terutama kita tidak siap secara prestasi. Entah karena pembinaan, duit yang dikorupsi, atau infrastruktur yang hanya dibangun dan tidak dirawat, saya tidak peduli karena itu urusan pejabat KONI.'

'Apa akar masalah mandeknya prestasi olahraga kita dan solusi menurut Bapak?' 

'Nah, ini menarik. Kita musti punya strategi mumpuni. Mumpung kita tuan rumah, kita licik licikan!'

'Licik licikan?'

Saya menepuk pundak si reporter dan membisikinya kalau ini ide jangan sampai lepas ke masyarakat. Sangat berbahaya jika dilakukan tim kita. Si mas reporter menyepakati dan membiarkan saya beride.

'Begini,' kata saya mantap. 'Ada tiga kota penyelenggara. Jakarta, Bandung, dan Palembang. Pembukaan acara di Jakarta jangan terlampau mewah. Kita adakan selamatan tumpengan saja. Gelora Bung Karno musti kita jadikan mercu suar jika bangsa kita memamerkan kesederhaan. Tidak foya foya. Itu nilai lebih kita dsri bangsa lain! Strategi ini bisa buat mengecoh negara lain. Mereka pasti bosan dan bete hingga pas bertanding malas malasan dan kalah! Kita dapat medali emas banyak.' 

'Lalu, Bapak?' tanya mas reporter. 

Waktu ia memanggil bapak seolah saya menyetujui menikahi ibu mas reporter dan saya mendukung poliandri. Saya tampar wajah saya dan kembali sadar.

'Kenapa, Bapak?' tanyanya. 

'Tidak apa apa. Saya lanjutkan. Nah, Palembang musti bikin moncor perut atlet negara lain. Suguhkan pempek super pedas sebagai makanan atlet. Kalau mereka mencret, habisi saja waktu pertandingan! Emas di tangan.'

'Lalu Bandung?'

'Kita adakan sesi hura hura ke Puncak saja sebelum pertandingan. Idealnya sih, nggak usah ada pertandingan di Bandung. Nanti Ridwan Kamil semakin narsis. Kita pertontonkan kemacetan luar biasa menuju Puncak. Mereka sudah uring uringan dan balik ke negaranya cepat. Kita menang WO dan dapat hibah emas banyak. Gampang bin simpel, kan?' 

'Wah, Bapak sudah memberi jawaban tangkas. Terima kasih, Bapak. Hasil wawancara ini akan kami kabarkan kapan akan terbit.'

Kami bersalaman bersama SMS masuk dari bos yang mengatakan "Kamu dipecat!". Saya malah bersorak senang.