Header Ads

BRAM & NIZAM : Antara DOLLY & DIENG



1 November 2013 lalu jatah Nizam dan Bram berpresentasi di kelas ELTI kami. Awal bulan, gajian yang naik, membuat saya bergairah untuk menyimak topik mereka. Dan saya sudah menyiapkan strategi pertanyaan yang membuat mereka tak berkutik. Bukan mempermalukan, melainkan saya menganggap presentasi ialah ajang bertukar pikiran yang seru. Aksi segera dimulai!

***

Bram mendapat urutan pertama. Ia sangat siap dengan lembar lembar kertas yang ia tenteng dengan gegap gempita. Maju dengan percaya diri, dagu terangkat dan mata menyipit, ia menyempatkan diri menengok ke saya melepas senyum persahabatan. Berdeham dua kali, Bram sudah di muka kelas. Mentor Inggris kami duduk tenang di antara kami penyimak sembari menulis nuliskan sesuatu dengan kacamatanya melorot lorot.

'Please take your time and show your presentation, Bram!' ucap si mentor.

Bram mengambil bahasan Dolly. Apakah ini karena dia berasal dari Surabaya? Atau, Bram jangan jangan seorang WTS yang menyamar jadi mahasiswa Jurusan Minyak UPN Jogja? Dari gerak geriknya, bau badannya yang tengik namun menggoda, Bram sepertinya .... ah, prasangka ini tidak layak diberikan pada Bram!

Presentasi berjalan tersendat sendat. Bram yang berkulit putih dengan tinggi sekira 170 cm, bergigi kuning keemasan, berrompi peluru a la tentara, kikuk menjelaskan Dolly. Ini mungkin ia grogi dan tahu jika saya sudah siap meletupkan pertanyaan dengan wajah sangar saya. Tapi saya sadari jika semuanya proses yang Bram alami wajar adanya.

Rivi salah satu siswa yang aktif bertanya pada Bram dengan kalimat yang super panjang bak gerbong kereta api waktu Lebaran yang ditambah. Ia paling intinya menembak Bram: 'Apakah Anda bangga sebagai warga Surabaya punya Dolly?'

Bram menjawab tegas ia bangga. Saya mesam mesem dan membatin mendukung jawaban Bram. Rivi masih ngeyel berteori ini itu. Bagi saya, prostitusi sudah ada sejak dulu jadi nggak ada alasan menutup Dolly. Balik saya bertanya pada Rivi apakah ia bangga sebagai warga Jogja ada Sarkem.

'Tidak!' Jawabnya.

Pun saya menimpali jika kita tidak bisa berpikir egois menilai baik buruk tempat prostitusi. Banyak alasan di belakangnya. Kalau ada antropolg ambil kelas Inggris bareng kami, pasti ia setuju dengan Bram apalagi saya.

'Dolly terbesar di ASEAN, tak boleh ditutup! Menutupnya, Indonesia bubar!' Batin saya si akhir presentasi Bram bersama tepuk tangan seisi kelas.

***

Lain cerita dari Nizam. Lelaki satu ini terus menjadi perhatian saya dan rasa salut terhatur padanya. Berusia sekira 40 tahunan, Nizam sangat gesit dan bersemangat mengambil kelas percakapan Inggris. Profesinya sopir yang mengantar bule hingga ia wajib memperlihai kemampuan bahasa Inggrisnya.

Nizam mendapat kesempatan berpresentasi dadakan. Giliran yang seharusnya oleh Arfan, atau siapa lupa saya karena si Fulan tidak masuk, Nizam mengambil tantangan itu.

Maju dengan langkah lemas, Nizam memutuskan cepat membahas hal terdekatnya: paket tur ke Dieng.

Kebetulan saya pernah ke Dieng jadi topik Nizam menarik minat saya. Memang Dieng salah satu tempat yang wajib dikunjungi sebagai orang Indonesia. Tidak ada alasan enggan ke sana. Nizam bercas cis cus, jatidirinya keluar sebagai pemasar perusahaannya. Ia menjelaskan harga termurah sampai ke Dieng. Seluruh kelas ramai selama presentasi Nizam. Jika boleh menilai, Nizam unggul mengubah suasana kelas ketimbang Bram.

***

Usai kelas, sepanjang jalan bersama motor China milik budhe saya, saya berpikir keras apakah ada hubungan antara Dolly temoat prostitusi dan Dieng yang konon tempat bermukim Para Dewa.

Mungkinkah Dewa Dieng kalau pas liburan berkunjung ke Dolly? Atau mucikari top Dolly selalu ke Dieng untuk bersemadi agar rezekinya lancar jaya dan balik ke Surabaya membawa semacam rajah buat WTS binaannya agar tampoak awet muda, energik di ranjang dan akuarium etalase, yang menarik pengunjung aneka usia?

Argggh, presentasi yang menarik telah saya dapatkan dari Bram dan Nizam. Thank you very much, Sir!

Tidak ada komentar