Header Ads

TRADISI MUDIK & PENGIRIMAN BUDAK AFRIKA ke BRAZIL


 



Kastangel, kacang mete, nastar, ada di meja redaksi. Beberapa gelas berisi air es sirup juga es teh siap kami bantai di Hari ke 3 Lebaran ini. Kami mendapat kehormatan dengan kehadiran teman teman baru yang berniat bergabung berlatih capoeira. Kami menjelaskan dengan senang hati.

Salah satu teman baru bernama Arga, 15 tahun, membuka obrolan tentang hal menarik. Mudik melawan arus pengiriman budak Afrika ke Tanah Brazil.

Arga bertanya, 'Kak, mudik di Indonesia sama dengan budak yang dikrim ke Brazil, ya?'

Kami redaksi terkejut. Selama ini tidak ada bahasan yang menyamakan dua hal itu. Negeri berbeda, aktivitas pun jauh. Yang satu menyenangkan, satunya sengsara. Tapi kami mempersilakan Arga melanjutkan pendapatnya.
Jam menunjukkan pukul 9. Jogja ramai oleh para pemudik yang bergerak balik ke kota kerja mereka.
Arga membetulkan posisi kacamatanya. Ia sepertinya kutu buku.

'Saya perhatikan mudik dan budak Afrika sama. Mereka menuju ke suatu tempat. Untuk bekerja. Meski kita tahu, para budak dipaksa sedangkan kita punya niat besar disengaja cari uang. Namun ada keunggulan para budak dari kita.'

'Apa itu?' tanya redaksi.

'Di tengah tekanan, para budak bertahan dengan rapi di dok kapal, bekerja di perkebunan, dan mencipta seni hebat capoeira. Sedangkan kita mudik ....' Arga tertahan.

'Lanjutkan, Arga!'

'Kita sibuk dengan kesenangan sendiri, pamer kekayaan, berkendara tak sopan. Apa yang kita cipta? Budaya kasar.'

Kami terkesima dengan sudut pandang seorang Arga. Meski tak sepenuhnya setuju, bisa jadi pemikiran Arga benar. Tak ada salahnya kita belajar pembebasan a la budak Afrika. Kami mengangguk ke Arga dan membatin remaja ini potensi besar buat capoeira. Belum berlatih saja pengetahuannya sudah luas, apalagi nanti.

Welcome home, Arga and friends!



Tidak ada komentar