Header Ads

Lelaki BerTuhan Gedung Sate


Cak Nun ia bernama. Sahabatku asli Madura yang menetap di Bandung sudah dua puluh tahun. Aku bertemu dengannya di kereta waktu diriku masih mengenyam bangku kuliah. Lima tahun lalu. Saat itu, aku dan teman tem
an kampus plesir ke Kota Kembang yang banyak orang mengatakan Surga Dunia di Nusantara.

'Baru pertama kali ke Bandung kalian?' tanya Cak Nun. Awalnya aku tak mengira ia Madura yang kutahu kebanyakan galak galak. Lelaki di depanku ini justru bertutur kata lembut.

'Ya, Pak.' jawabku sambil menyeruput teh kotak dan menyobek roti bersembunyi cokelat di dalamnya.

'Ah, jangan panggil aku "pak"! Aku belum tua untuk sebutan itu .... Cak saja biar akrab.' serunya.

Teman di sampingku menoleh padaku dan ia tak tertarik berbincang dengan Cak Nun. Ia berpura pura menguapkan mulutnya dan memelorotkan badannya tanda akan tidur. Aku meneruskan perbincanganku dengan Cak Nun.

'Jualan sate, Cak Nun?' tanyaku. Pasti dalam bayangan semua orang, Madura adalah penjual sate.
'Iya, Mas Danie. Saya jual di depan Gedung Sate. Narkoba juga.' Ia tertawa.

'Hah?!'

'Ah kau itu serius banget, Mas Danie .... Kuliah sudah bikin otakmu kaku. Jangan jangan Mas Danie kira Gedung Sate di perbatasan Palestina dan Israel!'

Aku tersentak namun Cak Nun segera menjelaskan jika dirinya tengah membikin guyonan. Ia menyodorkan permen padaku dan aku menerimanya dengan senang hati.

'Tenang, Mas Danie. Tenang. Aku tidak menawarkan rokok ke kamu. Meski perokok berat, aku tahu di mana tempat yang tidak mengganggu orang banyak.' ucapnya.

Kereta melaju cepat, kuperhatikan penumpang banyak yang telah tertarik ke alam mimpi. Kereta sudah seperti ayunan yang meninabobokan bayi bayi dengan amat pulasnya. Cak Nun memandangiku dan aku tertunduk sejenak.

***

Di antara seruan para pengasong berhati baja yang mengganggu tidur para penumpang, Cak Nun bercerita jika ia habis pulang kampung mengecek rumahnya yang sedang dibangun. Jatuh bangunnya di Bandung lumayan telah memberi hasil: beli tanah dan membangun rumah kecil buat anak istrinya. Cak Nun meninggalkan mereka di kampung.

'Aku tidak pernah selingkuh loh, Mas Danie!' seru Cak Nun. 'Cewek cewek Bandung memang molek. Kalau kita tidak tahan godaan, bola mata bisa copot. Tapi, istriku tetap yang tersempurna ....'

Takzim kudengarkan obrolan Cak Nun dan kuamati telunjuk tangannya berbalut plaster.
'Kenapa itu telunjuk, Cak Nun?' tanyaku.
'Aku panjat panjat pagar Gedung Sate, Mas Danie. Tanganku kecantol, saking aku memuja Gedung Sate, pengin elus tiap hari temboknya. Bangunan itu diamankan oleh pagar sialan. Jujur, Gedung Sate adalah Tuhanku!'

Kembali aku terperanjat. Ini kali Cak Nun mengatakan serius dengan ucapan jika ia menyembah Gedung Sate. Geliatnya tampak tidak sedang bercanda atau bikin kehebohan biar mata mata tertuju padanya laiknya artis Jakarta yang binal.

'Gedung Sate, Cak?!' nada suaraku keras hingga teman di sampingku yang telah tidur bangun namun terlelap kembali.

'Aku sudah tidak percaya agama. Islam, Kristen, Katholik, semuanya menjual kebohongan.' Cak Nun berkata dengan bibirnya bergetar.

'Bukan agama yang salah, Cak Nun. Menurut saya.' belaku pada agama. Islam tentunya.

'Itu Mas Danie. Aku, buat apa beragama tapi suka perang? Agama tidak salah itu benar. Tapi orang yang merusaknya. Israel merebut tanah, Palestina pengin eksis, Arab diam dengan pembangunannya yang luar biasa cepat.'

'Kalau agama tidak salah, kenapa Cak Nun tidak memegang teguhnya dan ....'

Aku menahan diri melihat tampang Cak Nun yang berubah tak nyaman.

'Ah persetan deh! Tugasku hanya jual sate.' seru Cak Nun. 'Dan aku merasa Gedung Sate yang memberi kelancaran usahaku. Aku hanya butuh berdoa: "Saya mohon izin berjualan di depan Anda, Gedung Sate. Tolong lariskan saya." Dan benar!'

Hatiku tertawa mendengar cerita Cak Nun. Tapi jelas tak mungkin kuletupkan karena ini sudah masuk dalam ruang pemikiran yang tak boleh saling menyalahkan.

'Cak Nun, kita cerita lain yuk ....' pintaku.

'Tempat wisata kayanya menarik dibahas.' Cak Nun memberi masukan.

***

Sejak pertemuan itu, Cak Nun seperti jadi orangtua keduaku. Ia selalu mengingatkan diriku untuk tidak lupa shalat. Tak lupa dalam teleponnya, ia terus menyalurkan semangat yang tak putus. Sering kuberdoa selepas ritual shalatku, kumemohon Allah kembali membuka hati Cak Nun untuk beragama. Kembali kusadarkan diriku jika itu hak paling hakiki Cak Nun untuk berTuhan sesuai ekspresinya.

'Mas Danie, sekarang aku mau buka cabang sate ayam ke 7 di Jakarta!'

SMS yang mengejutkan. Cak Nun meroket dengan usaha yang ia tekuni. Selamat, Cak! Tapi, Cak .... tentang Tuhan bagaimana?



____________________________
Sumber gambar: rinaldimunir.wordpress.com
Meribut di www.rumahdanie.blogspot.com



Tidak ada komentar