Header Ads

Cuplikan Novel #2: 'Dua Burung Gereja di Kubah Emas Masjid'

Bab 1: Santo dan Santi Bertemu





Senja murung. Warna jingganya redup.  Pancarannya hanya sampai ke bumi tanpa panas yang seolah menyobek kulit. Tidak seperti tadi siang, orang orang mengeluh kepanasan. Matahari dikata telah berubah, terlalu angkuh dengan radiasinya yang jor joran. Waktu menjelang malam ini adalah kebalikannya. Dingin bersiap menembus kulit dan menusuk tulang yang membuat nyeri.
Seorang lelaki tua berada di pekarangan sebuah masjid. Rambut peraknya mengilat sangat kentara. Pak Kiai ia. Tanpa kopiah, ia mendongak dan menatap lekat lekat kubah masjidnya yang berlapis emas. Kepala ia telengkan, seolah ingin berbincang dengan sang kubah.
“Cantiknya kau, Bah Bah. Nggak percuma aku bikin kau. Lihatlah dirimu sendiri, Bah. Kau pasti terpukau. Aku puas olehmu!” Pak Kiai membatin sembari menggaruk garuk pinggangnya.
Angin bertiup keras. Satu plastik bekas bungkus gorengan terbang membentur sarung Pak Kiai yang berwarna hijau. Seru Allah meluncur dari mulut Pak Kiai yang hitam akibat terlampau sering merokok kretek. Embus sang bayu pun melemah. Ia seakan tahu jika pemilik masjid berkubah emas tak berkenan diganggu olehnya.
Astaghfirullah,’ Pak Kiai menguluk nama Tuhan dalam batinnya. “Semoga kubah emas masjid ini tidak bikin kagum kami yang berlebihan. Sebaliknya, jadi penyemangat sekaligus pengingat!”
Magrib sebentar lagi. Para ibu renta mengalir masuk masjid. Pak Kiai mengulas senyum terbaiknya dan menjawab salam satu persatu. Muda mudi belum tampak batang hidung dan bau badan mereka. Mereka masih asyik bercengkerama asyik masyuk dengan internet sampai lupa jika waktu shalat telah hadir. Pak Kiai naik tangga masjid, masuk ruang shalat, menaikkan telunjuknya ke sang muazin. Takbir bergema. Para muda pun meninggalkan sejenak komputer mereka,  lari memburu jangan sampai ketinggalan rekaat shalat yang berujung gelar masbuk.
Dua burung gereja menclok di kubah emas masjid. Karena licin, mereka terpeleset dan berguling di kaki kubah. Santo dan Santi nama mereka.  Santi mengaduh. Beberapa helai bulu matanya gugur akibat kepalanya mengantuk beton. Santo menyembunyikan rasa sakit di kakinya, tak ingin jiwa ksatrianya terkoyak hanya oleh terpeleset dari kubah emas masjid. Di hadapan Santi, Santo tetap harus menunjukkan kejantanannya.
‘Ti, kita mendarat terlalu menukik!’ seru Santo.
‘Kan Kaka yang di depan. Adik mah ikut saja ….’ ucap Santi manja.  Ia mengeluarkan cermin dari tas mungil yang mengalung di lehernya. Wajahnya berantakan. Ia pun merengut.
Santo berkicau keras di antara rangkaian kalimat azan yang berkumandang. Bulu badannya bergidik. Santi tahu jika Santo bercericit keras ialah sebuah tanda agar tak boleh ada keluhan atau pasrah. Santo selalu bilang, biarpun perempuan Santi harus punya kekuatan. Tangguh dalam keadaan apapun. Sekali mengaduh, martabat seluruh tubuh akan memuai tanpa bekas.
‘Ini sudah berapa kali kita terantuk kaya gini ya, Ka Santo?’ tanya Santi.
‘Berkali kali.’ kata Santo sembari menatap langit. Ia mendongak meresapi satu pesawat yang meluncur cepat di angkasa. Dalam benaknya, Santo berdecak kagum akan kejeniusan Wright Bersaudara. Mereka berdua merangkai besi, menerbangkannya lainya burung. Seperti diri Santo.
‘Itu tandanya, Kaka sebagai komandan gagal!’ seru Santi.
Santo terhenyak. Kaget oleh perkataan Santi yang menusuk. Ia melotot. Santi mundur selangkah.
Eit … mau ngajak duel aku ya, Ka?’ tanya Santi sambil memasang kuda kuda. Dua sayapnya mengembang. Ia sudah siap barangkali Santo melepaskan jurus silatnya.
‘Aku tidak akan menyerang burung perempuan! Melukainya, HARAM bagiku.’ ucap Santo bergetar. ‘Kewajibanku, melindungi perempuan!’
Santi berbinar. Kelopak matanya naik turun. Ia seolah menanti kata lanjutan yang lebih jauh dan dalam meluncur dari paruh Santo, kakak angkatnya. Ucapan cinta , sayang, atau semacamnya. Gerak tubuh Santi seakan memberi tahu jika ia tengah dirundung kasmaran.
“Ayo ucapkan kalimat itu, Ka Santo! ‘Aku pengin jadi pacarmu, Santi!’ Cepat, Ka …. Tak mungkin aku dulu yang bilang. Nggak etis kan, Ka?”
Hati Santi bergumul. Santo tampak dingin. Ia tak beraksi oleh geliat Santi yang telah menggelontorkan sinyal asmaranya. Segeralah Santi mengesiapkan perasaan tak jelas ini. Ia tak ingin jatuh pada harapan yang berlebihan tanpa sambutan. Santi menelan ludah. Pahit ia rasakan.
Azan berkumandang. Sebagian jamaah bersimpuh di lantai mengulang ngulang nama Tuhan. Mereka yang datang terlambat berdiri menyedakapkan tangan dan menatap lurus lurus kiblat. Pak Kiai telah berada di tempat istimewanya, kotak imam yang hanya selembar sajadah menuju kehadirat Allah.  
‘Ka Santo!’ Santi berseru.
‘Ya.’ Santo menjawab sembari merapikan tatanan rambut kepalanya.
Santi duduk. ‘Kita khusyuk sejenak ya, Ka! Hormati mereka yang shalat.’
Santo mengangguk. Ia mendekati Santi. Mereka terdiam.

***
Santo bukan burung gereja asli Nusantara. Ia dibawa oleh seorang romo dalam bentuk telur dari Kota Roma. Sesampai di Jakarta, sang rohaniawan memasukkannya di mesin tetas bersama telur telur burung gereja pribumi. Diberilah nama Santo, yang berarti orang suci dalam Katolik. Meskipun hidup dalam lingkungan Nasrani, si Romo membebaskan piaraannya untuk memilih jalan hidup mereka. Santo tidak menganut satu agamapun. Ia hanya percaya, Tuhan menciptakan dirinya untuk berkicau hebat.
Berbeda dengan Santi. Ia masuk ke Nusantara menumpang satu kapal pesiar raksasa India yang berhasil mengarungi ganasnya samudera. Sebelumnya, Santi berada di Pelabuhan Jawaharlal Nehru yang menghentikan aktivitasnya beberapa saat guna menunggu badai reda. Santi kecil kuyup di bawah loket. Ia kesakitan memegang megang perutnya. Teman temannya tak peduli padanya dan kabur meninggalkan dirinya. Mereka telah berpose manis terlelap dalam tidur di sangkar hangat. Hujan sangat deras. Petugas pelabuhan mengatakan badai tengah menyerang. Santi kecil ingin melesat melawan badai. Namun ia mengukur kemampuan tubuhnya yang sedang sakit. Urung dahulu hingga  keadaan memungkinkan kembali untuk terbang.
Seorang gadis India menghampiri Santi kecil. Dengan kepalanya yang terus terusan bergoyang, ia jongkok dan mengulurkan tangan kanannya. Gagang payung di tangan kirinya berputar. Santi kecil masih ragu. Ia menunduk dengan paruhnya yang beradu karena kedinginan.
‘Kalau kau tidak mau, aku tak menjamin kau mampu hidup lama di sini.’
 Sonia mengangkat badannya. Ia berbalik dan berjalan meninggalkan Santi kecil. Tetes tetes air hujan dari ujung payung jatuh menghantam tanah. Santi kecil melompat lompat membuntuti Sonia di antara sisa tenaganya.
Merasa ada yang mengawasi, Sonia menghentikan langkahnya. Ia memutar badan dan Santi kecil mematuk matuk tanah tanda ia setuju ikut. Meski ketakutan masih tampak merambati dirinya. 
‘Sudah aku bilang, ikut sama aku kau akan baik baik saja!’ ucap Sonia setengah berseru. Bulatan merah di tepat tengah jidatnya menyala.
Badai berhenti. Kapal meluncur meninggalkan Pelabuhan Jawaharlal. Para penumpang yang sebagian besar berkulit putih ramai di dalam kapal mewah itu. Bercampur dengan bule berkulit legam dan satu kelompok orang Tiongkok bermata segaris, Santi tak sadar jika ia dibawa Sonia ke Negeri Kanguru. Australia.
Tubuh Santi kecil telah kering. Sonialah yang mengusapnya dengan sapu tangan  lembut bertuliskan inisial namanya dalam aksara Hindi. Perempuan India itu mengeluarkan selongsong biscuit dan memotongnya yang menimbulkan bunyi kres. Ia mengasupkan ke paruh Santi kecil. Si burung gereja berkelojot. Terlalu besar ukuran biskuitnya yang tak mampu ditelan Santi. Sonia sadar segera memperkecilnya. Santi lahap. Energinya yang sempat luruh kembali menggelegak. Berulang ulang Santi menyampaikan terima kasih atas simpati Sonia. Geliat tubuh Sonia tak menunjukkan ia berharap penghargaan. Ikhlas. Santi terbang ke pundak Sonia.
Sampai di dekat Pulau Jawa, kapal karam. Menabrak karang di gelapnya samudera yang ganas. Penumpang menjerit jerit, berhamburan ke dek kapal. Kepanikan melingkupi seisi kapal. Kapten kapal mencorongkan berita lewat towa, menenangkan penumpang, dan menjelaskan jika kapal kehabisan bahan bakar.
‘Mohon jangan panik!’ ucap sang kapten agak bergetar. ‘Regu Penyelamat Indonesia segera datang menyelamatkan kita!’
Penumpang tak percaya sama sekali. Mereka ribut. Saling berebut sekoci. Sikutan, dorongan, dan cacian menyertai wajah wajah penumpang yang kalap dan penuh emosi.  Sebagian berhasil menyelamatkan diri bersama keculasan mereka, selebihnya pucat dan gagu menunggu tim SAR hadir. Sonia meringkuk dengan kepalanya terbenam di pahanya di pojok dek bersama Santi yang frustasi. Malangnya, usaha si burung gereja yang ingin menarik terbang Sonia sia sia. Perempuan India yang baik budi itu tenggelam.
Sebelum ajal menjemput, tubuh Sonia terisap oleh lautan dingin, ia sempat berwejang kepada Santi:
‘Kau terbanglah. Selamatkan dirimu. Tetaplah aku di sini. Kau tinggalah di tanah paling dekat dari sini.’
Santo mengucapkan pesannya tanpa kesedihan. Raut wajahnya seolah masih sama dengan awal pertemuannya dengan Santi. Bersahabat.
‘Kuberi kau nama Santi. Dari agamaku. Hindu. Om Shanti Om. Semoga damai atas karunia Hyang Widhi. Agak memaksa buatmu. Tapi, itu harapanku padamu, Santi. Agar kau selalu mengingat pertemuan yang sekejap ini.’
Jelas Santi terpukul. Ia semakin terbang tak beraturan. Melebihi angin laut yang tengah rusuh. Satu butir air mata meleleh di pipinya.
‘Hentikan tangismu, Santi!’ seru Sonia. Pandangannya tegas menembus hingga menggetarkan jantung Santi. ‘Aku hanya pengin kau jadi burung yang baik. Kecilnya tubuhmu tak boleh menahanmu untuk terbang dan melompat lebih tinggi!’
Santi seolah kaku menerima pesan Sonia sahabat ranumnya. Ia yang menghilang sekejap oleh digdaya samudera yang angkuh. Santi menekan rasa sakit di dadanya. Terombang ambing ia terbang menyeberangi lautan. Di daratan ia jatuh pingsan.    


______________
Sumber gambar: fineartamerica.com
Hak cipta tulisan: Danie, 2012

Tidak ada komentar