Header Ads

Ritual Padusan Parangtritis: Menyambut Ramadan dalam Perspektif Kejawaan

Parangtritis sangat dekat dengan mitos Nyi Roro Kidul. Jika ada orang tewas tergulung ombak Pantai Selatan ini, tumbal adalah kata tepat yang dipakai masyarakat untuk menjelaskan. Dan, Parangtritis menjadi perpanjangan kekuasaan Kerajaan Mataram dengan membuat kisah ‘Satu garis lurus: Merapi – Kraton – Pantai Selatan’. Alam bawah sadar keJawaan selalu mengarah ke konsep relijius kultural ini.

Tak perlu menghadap hadapkan legenda Pantai Selatan dengan Islam. Jelas bertolak belakang. Orang Jawa memiliki cara unik mengenal diri dan alam terdekatnya melalui filosofi kejawen. Islam, tuntunan sempurna melingkupi humanisme universal yang lentur berakulturasi dengan budaya manapun. Jawa dan Islam bersinergi apik dan kompak membentuk Islam Nusantara.

Ramadan dan Pasa sudah digabungkan oleh Sultan Mataram. Kalender disamakan. Ini berarti tidak ada pertentangan konsep dasar Jawa dan Islam. Keduanya tidak saling menenggelamkan.

Masuklah bulan suci Ramadan di Tanah Mataram. Semua menyambut dengan cara masing masing. Berekspresi menurut imajinasi mereka. Tentu yang tidak bertentangan dengan dasar Islam. Lalu bagaimanakah dengan ritual padusan tepat menjelang Ramadan?

Ah, mereka yang mandi berniat menyucikan badan dan jiwa hanyalah berpesta. Merayakan datangnya bulan istimewa. Bukankah Tuhan menyuruh kita menyemarakkan Ramadan? Nah, warga Jogja yang berpadusan menjadikan ini sebagai momentum menyukseskan bulan puasa. Tidak lebih dari itu.

Tidak ada komentar