Header Ads

Nenek Penunjuk Arah Gua Berlian Pulau Diamond

Badai besar. Angin mengoyak kapal yang kunaiki. Paman Nahkoda pontang panting mempertahankan posisi kapal. Bersama dua penumpang, aku dan satu nenek, bertiga kami berusaha menyelamatkan diri. Dengan bekal yang sudah terlempar entah ke mana.
‘Pegang si Nenek!’ perintah Paman Nahkoda padaku.
‘Sudah kupegang.’ jawabku berteriak.
Guntur memekakkan telinga. Badan si nenek dingin. Ketakutan sambil terisak. Kapal terombang ambing mengikuti ombak yang sungguh seperti raksasa yang siap menelan kami bulat bulat.
Aku seorang reporter. Tiga jam lalu, aku pingsan di pantai. Sekarang, kucari cari makanan apa saja yang bisa mengisi perutku. Bagaimana dengan si Nenek dan Paman Nahkoda? Tak kuketahui di mana mereka berada. Harapanku, tak inginlah mereka mati oleh badai. Mungkin, di pantai sebelah mana. Semoga mereka selamat. Dan akan kucari, kususuri pantai semampu diriku berjalan.

***
Nenek penunjuk arah di mana gua penuh berlian di sebuah pulau. Pulau Diamond. Kudapat alamat si Nenek dari seorang lelaki yang kutemui di pinggir jalan. Dasar jiwa reporter, tak masuk logika pun, omongan si lelaki itu kupercayai dan kuburu rumah nenek. Dan dapat!
‘Permisi Nek. Selamat pagi.’ salamku.
Si Nenek tak mengerti. Ia bisu. Tak mendengar juga. Kuambil satu kertas, spindol kugambarlah pulau dan lambang berlian.
‘Tahu tempat ini Nek?’ sambil kutunjuk gambar pulau dengan ujung spidol.
Si Nenek mengangguk. Dan ia masuk ke rumah. Ia melambaikan tangan kanan, menyuruhku mengikutinya. Rumah reyot, berdinding anyaman bambu.

***
Satu petak ruang itulah ada dipan tidur tanpa kasur dan bantal. Beberapa baju bertumpuk di atasnya. Lemari tak ada. Tanah kering menjadi lantai yang jika diinjak debu berterbangan. Di situ juga tempat memasak. Satu meja dengan tudung menutupi makanan apa yang ada di dalamnya. Dan, satu foto seorang lelaki tergantung dinding bambu sebelah kiri.
‘Foto siapa ini Nek?’ tanyaku.
Nenek sibuk menyiapkan minum. Aku berada di belakangnya. Ia tak menjawab. Kuperhatikan wajah lelaki di foto itu. Tak kurus kering. Penyakit sepertinya tak mengakrabi dirinya. Gurat di wajahnya hampir tak ada. Pastilah ia pekerja keras. Suami si Nenek ketika masih muda?
Si Nenek mendekatiku. Menyodorkan satu gelas teh. Tangannya memberi tanda untukku segera meminumnya.
‘Terima kasih Nek.’
Ia membaca gerak bibirku. Dan menundukkan muka. Seakan tak ingin perjamuannya kepadaku memperoleh balas budi. Masih penasaran, aku coba bertanya kepada si nenek. Pelan pelan kubuka mulut.
‘Nek, ini siapa?’ aku tunjuk foto.
Nenek memberi tanda bulat di perutnya. Lalu kedua tangannya menimbang nimbang udara. Seperti mengisyaratkan foto itu gambar anaknya.
‘Anak Nenek?’
Ia mengangguk. Lalu meninggalkanku di dalam rumah. Teruslah aku coba mengorek informasi yang dipunya si nenek. Kesempatan baik sudah datang. Menjadi miliuner agaknya hanya dalam hitungan menit ke depan.

***
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com







Tidak ada komentar