Header Ads

In the Name of Peace

Atas nama perdamaian, aku menutup mata. Tak mencermati televisi yang menyiarkan berita perang. Atas nama kemanusiaan, aku menutup daun telinga. Tak mendengar selenting kabar tak jelas berisi sumpah serapah dari orang pembenci damai. Atas nama peradaban, kututup mata hati. Tak mengindahkan peninggalan nenek moyang, berharap bersama kita membangun budaya baru. Sebagai manusia yang berwajib untuk bekerja. Kepada perdamaian.

 

Atas nama perdamaian, enyahlah para pemimpin sewenang wenang. Yang lebih mementingkan saudara untuk menjabat posisi paling nyaman. Dan mengesampingkan bakat bakat muda terbaik, membiarkan mereka jatuh dalam frustasi. Atas nama kemanusiaan, berharaplah untuk tidak terlahir sebagai manusia. Karena manusia adalah tempat salah dan angkara. Yang ditakdirkan Tuhan dengan segala tantangan, yang meski sudah berukur tetap saja mengeluh namun juga tertawa di selanya. Atas nama peradaban, berbaik baiklah kepada para penguasa yang menjamin kehidupan dengan semestinya. Karena itu adalah jaminan menjadi manusia yang terhormat. Meski sementara, tak abadi biarlah itu sekadar angan yang menjamur di saat hujan.

 

Atas nama perdamaian, konspirasi politik biarkan melayang di udara. Bersama bau anyir Tuhan dan Dewa yang sudah dilecehkan oleh para remaja bertanduk buatan. Atas nama kemanusiaan, moralitas tak berlaku lagi di tengah gemuruh sumbar para kyai di podium. Yang anehnya tak lagi diindahkan oleh sebagian warga. Karena tenggelam oleh betapa mengasyikkan berada dalam lingkaran kemaksiatan. Atas nama peradaban, binasalah kita dalam waktu singkat. Bukan karena murka Tuhan. Tapi karena ulah sendiri yang berkumpul dalam rentang masa.

 

Atas nama perdamaian, kemanusian, dan peradaban. Semua bergantung pada satu satu orang. Tak mungkin menggabungkan semua, karena itu tak mungkin di tata negeri yang sudah berubah menjadi MONSTER seperti ini. Indonesia dengan demokrasi buatan. 


Tidak ada komentar