Header Ads

Gerimis, Malam Minggu, dan Tembakan Ortu

Hujan gerimis di sore hari. Tukang bakso, tukang siomay hilir mudik. Menahan perut, tak ada uang di dompet. Petir menyambar, bunyi gedebug dari belakang rumah. Saya menyangka, satu butir kelapa jatuh. Lalu, seekor tupai akan mengeratnya. Meminum airnya, atau memakan daging kelapa, dengan amat lahap. Hujan, berhentilah. Saya ingin bertandang ke rumah kekasih.

Ini sabtu sore. Hujan menjadi lebat. Tak ada tukang makanan dorong lagi. Mereka tengah menyelamatkan dagangan dan tubuh mereka. Jangan sampai kuyup. Tampak satu sepeda butut, ditunggangi seorang bapa tua, tanpa jas hujan. Saya menyapa dia keras.
'Hati hati Pak!'
'Yo!'
Semakin termangu. Janji telah lewat sepuluh menit. Pasti si Dedek marah. Tak ada pulsa untuk mengirim pesan. Dan, ia pun tak menelepon. Saya gelisah. Apakah ia marah kepada saya? Untuk ke sekian kalinya.

Menerjang hujan? Bisa saya lakukan. Amat mudah. Tapi di serambi depan, Bapa dan Ibu sedang berbincang. Pasti mereka menahan kepergian saya di antara hujan. Dan menyuruh saya untuk bersabar. Atau, mereka pasti berkata:
'Besok lah Nak ketemu pacarmu. Masih banyak waktu.'
Saya sangat tidak sabar. Karena, lepas sedikit wajah si Dedek dari pikiran, saya menjadi gila. Entah inikah yang bernama virus cinta?

Telepon berdering. Si Dedek mengabarkan menuju rumah. Saya.

Tidak ada komentar