Header Ads

London Marlondon Bagian 1

Kemeja hitam, celana terseterika rapi dengan topi ala mafia Italia. Tak lupa dia isap cerutu, asapnya membumbung tinggi di antara wajahnya. Menyatu dengan napasnya yang keluar karena hawa dingin. Lelaki itu berdiri di sebelah tiang di dekat telepon umum. Dia menunggu sesuatu dengan wajahnya yang gelisah. Gelagatnya yang terpancar, bukan wajahnya, karena ia tertutupi oleh kacamata hitamnya. 
Saat itu London musim dingin, dengan hamparan salju yang menutupi seluruh permukaan jalan. Tumpukan es beku itu mengganggu perjalan para pengemudi, hingga memaksa petugas kebersihan kota turun tangan. Di sudut jalan terlihat seorang petugas menjalankan mobil pengeruk salju. 

Tiba-tiba telepon umum berdering. Hanya ada beberapa orang di jalan itu, seolah diberi komando yang sama, mereka berpaling ke arah bunyi telepon. Lelaki misterius dengan kemeja hitamnya, melangkah mendekati kotak telepon umum lalu mengangkat gagang telepon itu. 

“Kau sudah berada di lokasi?” lelaki itu mendengar seseorang bertanya dari ujung telepon.
“Seperti yang kau perintahkan, aku berada di depan lokasi X.” Jawab lelaki itu dengan menangkupkan satu telapak tangannya ke gagang telepon sebelah bawah.
“Terus saja awasi lokasi itu. Jika ada hal mencurigakan, segera berikan laporan.”
Terputus saja pembicaraan itu, lalu lelaki itu meletakkan gagang telepon ke tempat semula. 

Siapakah lelaki dalam balutan kemeja hitam itu? Apa yang diawasinya? Semua masih misteri dan layak untuk kita telusuri. Apakah dia seorang penjahat yang hendak membantai seorang saksi kunci pengadilan ataukah dia sedang mengintai seorang penjahat yang tengah bersembunyi di sebuah flat kumuh di London? Masih belum jelas dan kabur.

London semakin membeku ditandai dengan embusan angin yang mulai tak bersahabat. Beberapa helai daun berjatuhan mengiringi langkah pejalan kako yang buru-buru ingin kembali ke rumah masing-masing. Namun, lelaki berkemeja hitam itu masih saja berdiri di dekat telepon umum. Dia kini menyalakan korek api dan membakar kembali cerutunya yang sempat mati. Awan ketegangan semakin nyata dari wajah lelaki itu. 

Seorang lelaki lain kemudian muncul dari dalam flat. Dia sempat memalingkan muka, memantau keadaan sekeliling, dan berbalik untuk menutup pintu flat. Pergelangan tangannya yang mengenakan kaus tangan terlihat merogoh saku kemejanya. Terlihat sekelompok kunci dengan warna keperakan. Dia kemudian mengunci pintu dengan salah satu kunci yang sebelumnya dipilihnya dengan agak cemas dan gemetaran. Sementara itu, lelaki di dekat telepon umum terus saja mengawasi gerak-gerik si lelaki flat.

“Pasti lelaki ini tersangka yang menjadi buruan para detektif recehan. Aku tinggal memastikan wajahnya sesuai dengan yang disebarkan di surat kabar. Hingga aku dapatkan hadiah 50.000 poundsterling. Tunggu ... tapi mengapa wajahnya masih saja tak terlihat? Aku akan terus membututinya hingga aku yakin dialah pelaku pembunuhan lima belas gadis belia di London ini.”
Lelaki itu lantas membuang cerutunya, menginjak dengan ujung sepatunya hingga yakin baranya mati oleh butiran salju. Dia pun melangkah mengikuti laju lelaki tersangka pembunuhan berantai. Ya, London akhir-akhir ini digemparkan oleh sebuah tindak kriminal terkeji dan di luar nalar kemanusiaan. Diberitakan oleh kepolisian setempat, seorang penjagal berkeliarin di sudut-sudut kota London dan terus saja mengintai para gadis belia yang jauh dari dekapan orang tuanya. Terhitung sudah lima belas gadis tak berdosa yang telah disekap, dibunuh kemudian diperkosa oleh seorang biadab kemanusiaan. Anehnya, masing-masing korban ditemukan dalam kondisi berpakaian rapi, dalam kondisi terias dengan senyum yang mengembang. Berbeda dengan kasus-kasus pembunuhan berantai lain, kasus terbaru ini sungguh menghebohkan warga London. Bagaimana bisa para korbannya meninggalkan senyuman saat dibunuh lalu diperkosa? Akankah teori kematian yang dipaksakan telah bergeser dari kengerian menjadi sebuah kenikmatan bagi si korban? 


Tidak ada komentar