Header Ads

Antara Penggembala dan Guru, Tanah lapang dan Sekolah reyot

Tak suka bermain di tanah lapang. Lebih tertarik memelototi televisi. Ada keluhan dari sang Pujangga, anak anak didik sekarang suka bermain HP, dulu tak dijumpai. Yang nakal memakan pil koplo hanya segelintir, bisa diatasi. Kalkulator, tak ada cerita murid dahulu memakainya. Meski sembunyi sembunyi, kini bu Guru seperti merestui jika Matematika ditemani mesin canggih itu. Biar anak anak tidak pusing, begitu alasan penuh kasih sayang.

Tanah lapang penuh domba. Penggembala merumputkan mereka tanpa usaha ekstra. Berharap dua bulan lagi piaraannya gemuk. Montok. Dijual ke para makelar didahului penipuan. Oh dasar kalian punya otak lebih lihai. Sesal tertutupi oleh lembar lembar uang. Sejarak seratus ribu dari harga awal. Sudah membikin bahagia. Kipas kipas cari angin dengan AC, belian di Toko Cacik Ah Yong. Diservis amat sempurna, harga sangat miring, karena dibeli dari tangan pertama. Inilah letak keunggulan suku bangsa tionghoa. Patut ditiru.

Sekolah reyot berbiaya gratis. Sembilan tahun para wali murid bebas membelanjakan uang mereka. Melupakan asuransi pendidikan, akibat cekok program Wajar. Yang sesungguhnya tak wajar jika menilik banyak murid kesurupan. Bukan karena jin berudel bodong plus bertindik kuningan. Tapi beban pelajaran yang sungguh berat. Adakah perkumpulan BP3 berperan lebih? Hanya menggenjot fasilitas, status sekolah bertaraf nasional, internasional sekalipun. Guru tetap bergosip buat guru honorer. Jika peduli, selayaknya tiap guru bergelar PNS mengumpulkan 50 ribu. Dihibahkan cuma cuma agar nasib yang tersisih menjadi terangkat. Timbul untuk lebih keras mengabdi kepada bangsa. Alangkah indah bila itu ada.

Antara penggembala dan guru.

Tidak ada komentar