Header Ads

Lawang Sewu: Menagih Tanggung Jawab PT. KAI

Lawang Sewu Semarang.
Di pusat Kota Lumpia. Berdekatan dengan Tugu Muda, Kantor kantor Pemerintahan, Perpustakaan Daerah, aku menyambangi Lawang Sewu. Kesan utama yang tampak dari luar, sebuah bangunan megah penyimpan sejarah.

Anjing tua dengan bopeng disana sini menyambutku di gerbang masuk. Pelancong tak banyak berkunjung. Bukan hari libur, banjir uang bagi pengelola tempat wisata tak ada. Suasana biasa saja tak spesial. Tak ada campur tangan Pemerintah Kota Semarang. Luput karena muatan politis.

Membeli tiket seharga 5000 rupiah, aku disodori seorang pemandu wisata. Tentu aku terima. Kapan lagi berwisata ditemani pemandu, pikirku. Inilah yang membuat masalah di akhir kunjunganku. Dia masih muda, menjelaskan sejarah Lawang Sewu dengan banyak menyebut 'mungkin'. Tak mengapa, aku masih menerima proses dia belajar.

'Lawang Sewu dahulu merupakan Kantor Kereta Api Belanda.'

Pikiranku melaju menuju kerja rodi. Merasa terpancing, aku melancarkan pertanyaan pertanyaan karena aku tertarik dengan sejarah Kolonialisme. Dari sudut pandang si pemandu, Belanda ternyata juga mendidik orang orang Indonesia agar maju. Membangun fasilitas, gedung, jalan kereta api, dan macam macam. Daya kritis si pemandu menyesalkan mengapa aset wisata ini dibiarkan berdebu. Jelas, Lawang Sewu kulihat tak terawat. Menurut dia, ini disebabkan penanggung jawab Lawang Sewu adalah PT. KAI bukan Pemerintah Kota. Pengelola panduan wisata juga swadaya masyarakat yang dipimpin Ki Entah juru kunci tempat ini. Sungguh nelangsa.

Tempat dansa, asrama para karyawan asli Belanda, dan lorong bawah tanah yang seram. Cerita akan terus berlanjut.

Tidak ada komentar