Header Ads

Pemilihan Mister Rindunesia 2009 (Live from Batavia)

Pemilihan Putra Sang Fajar 2009. Aneka manusia Rindunesia dari bermacam-macam suku dan agama berkumpul di tanah lapang. Menenteng surat undangan pendaftaran, mereka saling berdesak-desakan berharap segera diproses kelengkapan administrasinya. Peluh bercucuran, jeritan nakal tak jarang melejit di antara mereka. Panitia bingung bukan kepalang, mencoba menenangkan para calon peserta.

            Langit cerah, matahari bersinar dengan lantang. Asap kenalpot kendaraan tak ada. Hari pendaftaran dibuka dengan tenang. Raungan motor yang sebelumnya menyertai setiap kampanye para calon, kini telah tertutup rapat. Tak ada barang sedikitpun yang boleh melatangkan aspirasinya. Karena pendaftaran ajang pemilihan Putra Sang Fajar harus tenang dan damai.

            “Nomor urut satu, maju ke depan.” Perintah panitia berkumis lebat yang memakai topi koboi.

            “Siap, Om!”

            Melangkah ke depan, seorang ibu berkebaya lengkap dengan kondenya, membawa surat undangan di sebelah kiri dan kipas manis di tangan kanan, dia mendapat sorakan calon peserta lain.

            “Anda kan perempuan. Mengapa mendaftar di kompetisi ini? Tolong baca peraturan pemilihan.” Panitia itu menyodorkan selembar peraturan kepada si perempuan berkonde itu.

            Sambil merengut dan melipat-lipat wajahnya, perempuan itu bersiap melontarkan jawabannya.

            “Stop ... Maaf Pak Panitia. Maafkan kelancangan isteri saya. Perkenalkan nama saya Topik Emas, saya pengusaha. Tepatnya Pabrik Jagal Ternak. Terutama Banteng. Isteri saya memang sangat ambisius. Padahal saya sudah memberinya harta berlimpah. Kurang cukup mungkin. Maaf Pak, permisi. Ayo, Bu!”

            Lelaki yang mengaku suami perempuan pendiam itu menyeret sang istri. Berontak dan menangis tersedu-sedu, perempuan itu memprotes tindakan jahat suaminya.

            “Dasar lelaki pengecut. Aku berniat menunjukkan superioritas perempuan, kau halangi. Aku tak terima.” Ujarnya berapi-api. “Hidup Partaiku, Panta Rai!”

            Sang suami menggelandang istrinya. Tak peduli dicemooh oleh peserta lain.

            Selepas pertunjukan gaib yang mencengangkan tadi, pendaftaran calon peserta kembali pada habitatnya semula.

            Angin berembus sepoi-sepoi. Panitia membunyikan radio, sayup-sayup terdengar musik keroncong mengisi tanah lapang. Suasana hening melingkupi dan meredakan emosi yang tadi sempat naik.

            “Peserta nom ....” Belum sempat panitian paling tinggi menyelesaikan ucapannya, datang sepasang suami-istri yang keduanya memakai kursi roda. Dua ajudan membantu mereka. Pakaian mereka sangat biasa, yang lelaki mengenakan kaos dan celana kolor pendek. Sang isteri lumayan rapih dengan kerudung berwarna hijau berhias bintang-bintang emas.

            “Tunggu, kami ikut mendaftar. Maaf, saya dari luar negeri. Terlambat sedikit tidak masalah, kan?”

            “Halo, suami saya mau ikut jadi Putra Sang Fajar 2009. Tolong bantu dia.” Si Istri menambahi ucapan suaminya.

            Sontan para peserta terbengong-bengong melihat kondisi tamu dadakan itu. Berkursi roda, dan sepertinya kesehatan matanya kurang memungkinkan untuk mengikuti pemilihan.

            “Bagaimana bisa kau mendaftar, badanmu saja sudah begitu.” Ucap salah seorang peserta diikuti tertawaan yang membahana.

            “Eh, tahu diri dong. Kami saja yang sehat bisa saja tak terpilih, apalagi kamu! Yang benar saja.” Teriakan kembali memenuhi tanah lapang.

            “Tak perlu repot, Saudara-saudara. Ini kumpulan banteng-banteng ngamuk yang diasuh ibu berkonde tadi bukan?” ujar lelaki berkursi roda sembari mengajak istri dan ajudannya meninggalkan tempat pemilihan.

           

            Pendaftaran terus berlangsung. Sampai matahari tenggelam belum selesai. Masih banyak calon peserta yang mengantre seperti liukan ular. Butuh beberapa jam lagi untuk menuntaskan agenda lima tahunan ini. Pesta demokrasi penuh pesona tiada tara. Menggairahkan dan memabukkan.

 

 

 

 

Tidak ada komentar