Header Ads

Koruptor-Salah Terperangkap (Pukulan Telak Buat Bangsa Gemblung)

Aku tak merasa diriku merampok harta rakyat. Tak sedikitpun aku berkeinginan untuk menyengsarakan saudara-saudara sebangsaku. Aku berani bersumpah demi nama Tuhan, tindakan yang kulakukan tidak pernah melanggar peraturan negara. Tapi, mengapa banyak orang menuduhku sebagai seorang koruptor?

            Sungguh kejam penilaian tak berdasar itu. Kurang apa aku mengabdi di instansi pemerintahan ini? Tiga puluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menunjukkan pengabdian tak kenal lelahku kepada tanah air yang kucintai. Gaji sedikit tak masalah buatku, yang paling penting aku bisa menjadi warga negara sesungguhnya. Punggawa bangsa.

            Aku hanyalah seorang juru ketik di kantor perpajakan. Setiap hari aku mengetik dokumen penting daftar infak para wajib pajak. Pekerjaan sehari-hariku memang membosankan. Memasukkan nama, alamat, jumlah uang, dan informasi penting pembayar pajak yang taat. Aku hanya mengetik dan mengetik, tanpa tahu sebenarnya mereka membayar pajak untuk apa. Berbekal ijazah SD, yang aku sendiri bingung mengapa aku bisa lulus, kemudian aku nekat mendaftar di kantor pajak. Dan sampailah sekarang, menjadi juru ketik.

            Tak pintar berhitung, membaca pun aku tak begitu lancar, aku bekerja ala kadarnya. Toh pekerjaan penting dan pengambil keputusan sudah dilakukan oleh atasanku yang lebih pandai. Sangatlah tabu di instasi ini apabila ada anak buah lancang terhadap atasan. Kepandaian harus di bawah standar, kemampuan diplomasi hendaknya biasa saja, dan inisiatif untuk berkembang musti ditekan habis. Aku memahami dan menyadarinya, hingga otakku selama tiga puluh tahun mengental. Keadaan yang harus diterima.

            Tapi mengapa aku dijebloskan ke penjara dan dituduh sebagai maling uang rakyat? Aku tak mampu menjelaskan. Yang ada beberapa kali aku dimintai keterangan berkaitan dengan kasus korupsi yang menimpa kantor pajak tempatku bekerja. Dengar punya dengar, ternyata kantorku terbukti sebagai ladang korupsi. Tidak tanggung-tanggung, nilainya lebih dari satu triliyun rupiah dan dilakukan secara masal. Aku pun terkena getahnya. Demi Tuhan, aku tak pernah mengambil uang sepeser pun. Haram bagiku ikut bersama mereka. Atasan-atasanku yang kusangka baik, ternyata bermental racun.

            Namun, aku kembali menerima kenyataan ini. Aku diputuskan menghuni bui selama lima tahun. Dan aku akan belajar lebih sabar di dalam rumah baruku ini.

Tidak ada komentar