Header Ads

Diambang Perang Saudara (Bagian 2)

Tak ada pesona lagi tubuhku. Semua berbau darah. Mulutku, telingaku, hidungku, mataku, hatiku, otakku penuh dengan darah. Darah terlalu penuh di tubuhku, keluar memancar deras. Aku kelebihan darah.

 

Aku anak bangsa. Diriku adalah cermin bangsaku. Tubuhku berlumuran darah, negeriku juga sama. Tak ada bedanya. Tak jauh. Saling berdekatan dan bersinggungan. Darahku, darah temanku, darah musuhku, darah pemimpinku, darah para pemuka agama, darah buruh, darah guru, darah pengabdi masyarakat, darah dokter, darah jaksa, darah hakim, darah polisi, darah dosen, darah mahasiswa, darah bayi, darah ibu, darah ayah, darah remaja, darah mucikari, darah pelacur, darah manusia hidung belang, darah nenek, darah kakek, BERBAUR menjadi satu. Tak berbau.

            Kami tenggelam dalam lautan darah. Berenang menyelamatkan diri. Tendangan kaki, gerakan tangan tak beraturan, saling mematikan. Tak ada waktu untuk memikirkan orang lain. Kepala orang lain jadi pegangan hingga tak sadar menenggelamkannya. Usaha dan usaha menyambung hidup. Dan ini tindakan pribadi. Urusan kumulatif sudah tidak berarti. Mati dan hidup, satu pilihan yang harus diambil.

            Aku dan tubuhku berdarah. Temanku penuh darah. Musuhku tenggelam dalam darah. Bangsaku, berdarah. Merah berarti darah. Tanpa putih sama sekali. Dan putih itu: KEMATIAN.

 

 

 

Tidak ada komentar