Header Ads

Ujian Negara: Pemuas Berahi Para Elit? (Bercermin dari Pembantu Rumah Tangga)

“Sudah saya bilang Nyah. Saya tidak mau mengikuti ujian seperti ini. Saya sudah tiga tahun berpengalaman mengurus rumah, tapi Nyonya masih saja belum percaya dengan kemampuan saya. Jangan menuduh saya melakukan hal itu, Nyah”

Sungguh pantas jika pembantu itu melayangkan protes kepada majikan perempuannya. Amat layak bila gadis desa yang tengah menggantungkan kehidupannya sebagai pramuwisma mengeluh secara langsung kepada tuannya. Tak salah, sebetulnya pantas menerima timbal balik, namun yang didapat adalah cekokan dan aneka perintah yang terus saja diumpankan kepadanya. Majikan tolol yang mengaku memiliki gelar pendidikan dan sertifikat seminar berkardus-kardus.

“Sudah, kamu jangan cerewet. Wanita kampung bawel. Kalau kau nggak mau uji urin dengan alat ini, aku akan laporkan ke polisi bahwa kau telah berbuat zina dengan suamiku!” Ucap majikannya dengan menyodor-nyodorkan alat penguji kehamilan.

“Sumpah, Nyah. Saya tak berbuat sesuatu pun dengan juragan. Saya mengeroki punggung Tuan Besar sewaktu Nyonyah tak ada di rumah. Tuan bilang beliau baru masuk angin, menunggu Nyonya terlalu lama.” Bantah si pembantu itu.

“Tak peduli apa yang kau katakan. Kau bisa saja mengatakan seperti it. Tapi aku yang berkuasa di rumah ini. Ini negaraku dan peraturan hanya aku yang buat. Dan kamu wajib melaksanakannya. Kalau kau membantahnya, siap-siap saja, wajahmu akan penuh luka. Aku tak segan melayangkan bogem mentahku, cakaran biadabku, setrikaan di mukamu, atau barang kali air raksa akan melayang ke wajah kusammu itu!”

Alat uji tes kehamilan itu disodorkan majikan yang sedang kalap. Si pembantu akhirnya menerimanya dengan terpaksa.

“Ini pakainya gimana, Nyah?”

“Pakai tanya lagi! Masukkan saja ke mulutmu ... Ya, dicelupin ke air kencingmu, dasar Bego. Mana pura-pura lagi?!”

“Maaf, Nyah. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana cara memakainya.”

“Ya sudah, sana ke kamar mandi.”

Baru beberapa langkah pembantu itu ingin menuju ke kamar mandi, si majikan berteriak-teriak.

“Eh ... kembali, Budak. Kencing di depanku saja. Nggak perlu ke kamar mandi. Pasti kamu bohong kalau ke sana. Air kencingmu pasti kau ganti dengan air-air lain.”

“Astaghfirullah. Sejak kapan saya berbohong, Nyah? Ibu saya di kampung ndak pernah mengajari berbohong. Tapi bagaimana pun juga Nyonyah adalah juragan saya. Saya siap melakukan apa pun yang diperintah Nyonyah. Tak hanya dites kencing saya, disuruh minum air kencing sendiri pun saya mau.”

“Hai ... nantang kamu ya? Sejak kapan manusia idiot membantah perintah majikannya. Cepat kencingin itu alat!”

Pembantu itu pun hanya bisa melakukan perintah majikannya. Dia tak berhak lagi mengungkapkan isi hatinya. Semua kebenaran telah dia coba ucapkan, tapi hasilnya sudah pasti, berujung dengan umpatan yang memerahkan telinga. Tapi dia mencoba untuk menerima perlakuan sadis ini. Belajar memahami keburukan pengambil keputusan di rumah itu, tanpa boleh lagi membantah. Andai uji kencing itu menunjukkan hasil positip, maka dia siap menanggung segala resikonya. Namun bila hasilnya negatip, dia juga harus siap menerima alasan lain majikan perempuannya. Entah sandiwara apa yang akan dipermainkan majikan itu. Dia siap sedia menanggung segala resiko.

 

Untuk murid-murid sekolah yang sedang menghadapi ujian negara. Kali ini kau berlaku layaknya pembantu rumah tangga seperti di kasihku. Beberapa tahun ke depan, kelak kau menjadi majikan. Ingatlah kehidupan pembantu yang terfitnah dalam kisahku. Jika kau menjadi orang kaya, jangan perlakukan pembantu-pembantumu seperti majikan dalam ceritaku. Biarkanlah kali ini kalian dijajah oleh para pengambil keputusan dalam pendidikan sekarat di negeri kita. Biarkanlah mereka para pelaku bisnis pendidikan membuat atraksi jual beli pendidikan. Aku berpesan dengan amat dan amat berharap, terimalah apa adanya dunia pendidikanmu, tanpa mengeluh, tanpa protes. Yang paling penting, teruslah bermimpi mencapai pendidikan otonom melalui daya pikir sendiri. Bebaskan dirimu dan acuhkan semua omongan para penjajah pendidikan itu. Toh mereka sebentar lagi akan mati juga dan dikerubungi oleh belatung bernama ujian negara. Bebaskan dirimu, adik-adikku!

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar