Header Ads

Sekarat dalam Buaian Mimpi sebagai Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi

Tak berhak aku mengatakan diriku anak negeri. Tak pantas aku mengatakan: aku terlahir di zamrud khatulistiwa yang di sana mengalir sungai-sungai madu. Aku bukan di antara mereka, aku bukan terlahir di negeri itu.

Pernah waktu kecil seorang ibu berbisik kepadaku, mengatakan bahwa aku merupakan anak surga karena aku dibesarkan di sebuah negeri penuh pesona. Si ibu itu juga menjelaskan bahwa negeriku elok rupawan dengan hamparan sawah menghijau, menguning oleh padi. Dia terus mengoceh bahwa negeriku mempunyai laut indah dengan nyiur melambainya, keindahan ombaknya, dan ikan-ikan yang sedap tiada tara. Ibu itu terus saja mengocehkan berbagai perkataan yang tak pernah kumengerti. Itu waktu aku masih kecil.

Aku kini telah tumbuh dewasa. Aku mulai ingin mengenal siapa diriku. Dan aku pun ingin mengenal apakah benar aku terlahir di sebuah negeri yang pernah kudengar dari seorang ibu waktu aku kecil. Bukan. Negeri yang diceritakan itu tidak ada di sekitarku. Aku tak pernah menemukan negeri itu. Aku menjejakkan kakiku di negeri yang aku sendiri tak pernah mengenalnya. Aku hanya mengetahui bahwa negeri tempatku lahir adalah negeri sekarat yang kehilangan jati diri. Aku melihat di mana-mana orang tak mengenal tempat mereka berada. Mereka terlalu sibuk dengan diri sendiri, tak saling peduli, sibuk mencari tahu siapa diri mereka masing-masing. Aku dan mereka tak saling mengenal. Hingga aku dan mereka menjadi sekarat pula. Tak mengenal negeri tempat kami dilahirkan dan tumbuh.

Aku mencoba tak mengikutkan mereka lebih lama dalam kisahku ini. Biarkanlah mereka sibuk dengan hidup dan pengenalan diri. Aku pun akan sibuk dengan urusanku sendiri. Aku mencoba mengenali diriku sendiri sembari, jika mau, mengenal negeriku. Aku masih menyangsikan kata-kata si ibu yang berbisik kepadaku di waktu lampau. Negeri ini bukan negeri impian. Negeri ini adalah negeri yang biasa saja. Ataukah aku yang salah dalam mengambil sudut pandang?

Tidak ada komentar