Header Ads

Bila Bunda Kangen

“Nak, aku ingin sekali berkunjung ke rumah kontrakanmu. Sekadar berbicara, menemuimu, berbagi cerita, dan membantumu keluar dari semua masalah hidupmu.” Ucap ibuku dari ujung telepon.

Aku menanggapi ucapan ibu dengan dingin diselingi tawa yang kecut. Apakah aku harus terus menjadi anak kecil, apakah aku masih harus selalu mendapatkan wejangan dari ibu, apakah aku tak bisa hidup mandiri, haruskah aku selalu mendapatkan masukan dari orang tua.

“Untuk apa, Bu? Perjalanan dari kampung ke tempatku sangat jauh dan mahal. Uang dari mana sementara ibu masih harus mengurus adik-adik di rumah.” Aku memberikan alasan dengan maksud melunturkan niat ibu untuk menjengukku.

“Sudah lama ibu tak mendengar suaramu, Nak. Telepon ini tak sanggup mengatasi rasa rindu ibu kepadamu. Aku tak hanya ingin mendengar suaramu saja, tapi aku ingin sekali bertatap muka denganmu.”

Sebenarnya di dalam hati, ada perasaan yang sama aku ingin kembali berada di dekat ibuku, merasakan hangatnya kasih sayang yang terus diberikannya. Tapi kini jarak memisahkan kami. Sebenarnya semua alasan yang kuucapkan hanyalah sebuah pemberi keyakinan bahwa aku mampu hidup sendiri, tanpa bantuan kedua orang tuaku lagi.

Terus terang saja, saat ini aku berada dalam sebuah perlintasan, keragu-raguan, dan aku tak ingin ibu mengetahuinya. Namun ibu tetaplah ibu yang mampu menangkap sinyal kegelisahanku. Entah saluran apa yang selalu menyatukan hati kami, yang pasti ibu selalu tahu perasaanku. Aku akhirnya berbohong agar ibu yakin bahwa aku masih bernyawa di negeri orang.

Andai aku bisa berharap lebih dengan keadaan orang tuaku, masih merasakan kejayaan mereka, menikmati semuanya dengan mudah layaknya seorang raja menjentikkan jarinya untuk memuluskan seluruh permintaannya. Namun semua itu tinggal kenangan yang tak mungkin kembali. Aku sadar sepenuhnya, dunia ini telah berubah, dan kami sedang berperan sebagai kelompok yang diharuskan mencari. Menemukan sesuatu yang hilang dari kehidupan kami sebelumnya.

Waktu kami menemui hal baru ini, jujur kami tersentak dan kadang mempersalahkan Tuhan mengapa hal ini bisa menimpa keluarga kami. Seiring waktu berjalan, kami akhirnya menyadari bahwa hidup memang harus mengalami pasang surut agar kami merasakan  pula kepahitan hidup. Kalau tidak seperti ini, tentu ketakaburan yang akan mendarah daging di keluarga kami. Kami beruntung mendapatkan ujian seperti ini. Ternyata ujian itu bukanlah sebuah beban yang harus disesali. Justru hal itu menjadi titik balik bagi keluarga kami untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan.

Memang mudah aku mengatakan hal seperti itu, sukar untuk melaksanakannya. Aku sendiri masih sering ingkar di balik rasa syukur dan sesal yang kadang timbul tenggelam saling menggantikan. Tapi sudahlah, mungkin aku harus banyak belajar dari semua ini.

Aku masih terngiang dengan kalimat yang diucapkan ibu. “Aku ingin ke tempatmu, Nak.”

 

 

 

Tidak ada komentar